Merajut Kembali Nilai Kebhinekaan Pasca Pemilu

 

Seminar Bedah Buku Gus Dur

Sabtu, (3/8) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Tanpa Titik IBN Tegal menyelenggarakan seminar bedah buku GUS DUR. Sebuah buku yang karya Ahmad Suaedy. Anggota Ombudsman RI, juga salah seorang pendiri dan mantan Direktur Ekskutif Wahid Foundation (dulu Wahid Institute).

Iqbal, selaku ketua umum LPM Tanpa Titik mengawali pembukaan acara. Lewat LPM Tanpa Titik, ia berharap dapat membuka ruang seluas-luasnya untuk belajar. Disusul ketua BEM IBN Tegal, dan wakil rektor tiga bidang Kemahasiswaan; Pak Muslich turut mengawali pembukaan pemateri.

Yang kaya akan berbagai puzzle merajut perbedaan dan segala ketimpangan. Baik regional maupun nasional. Berlangsung di Gedung Yayasan Adhi Dharma Klenteng Hook Ie Kiong Slawi, berjalan lancar. Acara tersebut juga atas kerjasama komunitas Gusdurian Tegal. Serta berbagai pihak lintas agama.

Dipegang Moderator Khusnul Aqib, acara berlangsung cukup kondusif. Hadir berbagai tokoh lintas agama dan pemateri pembanding. Romo Augutinus Sigit Riyanto, Pendeta Sugeng Riyadi. Tak luput, Pak Zaki Mubarok, selaku perwakilan Dosen IBN Tegal, ikut memberi warna pada acara seminar bedah buku GUS DUR sore itu.

Lewat bukunya, Ahmad Suaedy menegaskan bahwa kita banyak belajar aneka hal lewat GUS DUR. Terlebih tentang toleransi dan kemanusiaan. Buku yang disadur dari hasil disertasi Suaedy ini menyajikan penjelasan bagaimana Gus Dur berhasil membalik strategi penyelesaian konflik Aceh dan Papua. Ia memberikan keadilan, baru kemudian menuntut kesetiaan dengan tiga langkah: pengakuan, penghormatan, dan transformasi kelembagaan negara untuk mengakomodasi kepentingan mereka.

“Pada mulanya Gus Dur melakukan personal approach kepada teman-teman aktivis dan pemimpin agama dan adat serta ulama-ulama di kedua daerah tersebut (Aceh dan Papua). Dari pendekatan personal itu lalu mengerucut pada pendekatan kewarganegaraan,” terangnya.

Dalam konteks pendekatan kewarganegaraan yang dimaksud adalah pemenuhan hak-hak kolektif warga negara. Dalam Islam konsep kewarganegaraan ini belum selesai. Diantara teokratis dan sekuler belum tuntas keberpahamannya. Akan tetapi ada pendekatan lain yang dilakukan Gus Dur.

“Beliau berusaha untuk memadukan paham Islam agar kompatibel dengan demokrasi dan human right. Oleh karena itu, saya membuat terminologi Islam Nusantara sebagai pijakan analisis dalam buku ini,” lanjutnya.

Strategi itu terbukti berhasil membangun rasa kewarganegaraan bineka yang didasarkan pada metodologi Islam Nusantara.

Manuel Kaisiepo tokoh Papua dan salah satu orang yang pernah dekat dengan Gus Dur mengatakan, bahwa buku ini menggambarkan bagaimana Gus Dur membangun cara pandang dan pemahaman yang tepat tentang apa yang terjadi di Papua.

“Saya kira Gus Dur berhasil mengetahui latar belakang masalah di Papua. Menurut saya ada tiga masalah serius di Papua. Pertama, trauma represi politik rezim Orba. Kedua, eksploitasi ekonomi dan sumber daya alam. Ketiga, adanya pandangan hierarki kebudayaan dan Gus Dur paham betul akan masalah ini serta menemukan pendekatan pemecahan masalah yang tepat,” jelasnya.

“Untuk bisa menyerupai Gus Dur dalam merajut berbagai konflik lintas berbagai hal, adakalanya memang sulit kala perorangan. Di kepalanya memang seperti sudah terangkum berbagai ide dan solusi tak terduga, yang salah satu halnya karena kebiasaannya membaca apa saja sedari kecil. Namun, kita bisa menyerupai atau setidaknya mengikuti jejaknya dengan bersama-sama berusaha saling menanamkan nilai keindahan dalam berbagai perbedaan,” papar Ahmad Suaedy saat menjawab salah satu pertanyaan audiens.

Terlebih cuaca pasca pemilu ini, baik itu pendukung kubu 01 atau 02. Tidak semestinya menjadi suatu perpecahan antar saudara. Antar kelompok, golongan tertentu, apalagi nasional. Menyadari pentingnya rasa saling menghargai; adalah kuncinya.

“Menghargai perbedaan juga bisa lewat menghargai budayanya. Sebagaimana kuntulan, yang merupakan produk budaya, begitupun barongsai. Kita tidak semestinya antipasti dan ekstrimis menjudge orang lain kafir, dan sebagainya tanpa mau saling duduk bersama; berusaha menghargai perbedaan yang ada,” tegas Pak Zaki Mubarok, mewarnai acara.

Acara tersebut juga diselenggarakan bukan hanya untuk kaum Nahdiyin. Namun umum. Baik dari berbagai perwakilan Muhammadiyah; seperti IPM, IMM. Serta berbagai komunitas rumah baca, serta berbagai pihak lainnya. Semata sebuah pesan tersirat, ingin sama-sama menyemai indahnya nilai kebhinekaan. Diakhiri do’a oleh KH. Hambali, acara berlangsung penuh khidmat.


Reporter: Siti Rokhanah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama