Yang Lebih Bahaya dari Tak Bisa Membaca

pict: kompas.com
pict: kompas.com



Seruan memberantas buta aksara, kian menggema. Dari lini desa sampai ranah negara. Berbagai pegiat literasi mulai muncul dimana-dimana. Dengan kesukarelaannya, mengajak untuk melek aksara. Dari kalangan anak-anak sampai manula. Dan, dalam skala lintas batas negara, adanya peringatan hari Aksara Internasional. Yang jatuh tepat tiap 8 September. Tak lain, sebuah upaya--menggaungkan semangat membaca. Mengajak bersama, melalui berbagai upaya agar tidak ada lagi orang yang masih buta aksara.

Memang, seberapa penting sih membaca? Pun kita ketahui bersama, perintah Iqro mungkin sudah teramat keluar masuk telinga. Namun, sudah seberapa dalam Iqro meresap ke jiwa dan termanifestasikan dalam praktik nyata?

Memang tak dapat dipungkiri adanya. Membaca menjadi suatu jembatan ilmu paling dasar. Sebab itu mengupayakan orang lain agar tak buta aksara, kian gencar. Pun bagi yang sudah mampu membaca, muncul kembali. Seperti sebuah panggilan radar untuk membaca. Satu sama lain saling menguatkan sinyalnya. Melalui mendirikan komunitas sadar baca, sampai rumah baca. Tak hanya untuk kalangan siswa, tapi anak jalanan pun berhak mendapat kesempatan sama.

Mendirikan komunitas seperti di atas, tentu berangkat dari berbagai kepedulian seirama. Mereka tak akan bisa berjalan, kalau tak bersama. Mulai dari Perpus untuk anak jalanan sampai sebuah gaung Tegal Membaca. Sebuah contoh kecil, betapa Tegal; sebuah kota yang juga berupaya mencuacakan melek literasi. Tak terbatas usia dan apapun adanya.

Membaca--menjadi satu paket bagi para penulis pada umumnya. JK Rowling, memilili tradisi membaca sejak kecil. Orangtuanya pun memiliki kebiasaan gemar membaca. Dan tak menghalanginya untuk membaca apapun. Bahkan genre romance pun dibacanya saat kecil. Sebelum yang kita kenal seperti sekarang; sebagai penulis buku Harry Potter. Baginya, membaca akan memberi pemahaman tentang cara menulis yang baik dan menjadi perbendaharaan kata. Pun sangat korelatif, dengan para penulis kebanyakan, ketika ditanyai resep menulis. Pasti kebanyakan menjawab, dan hampir tak pernah lepas dari anjuran untuk selalu membaca.

Namun, membaca pun tak hanya sampai pada membaca teks buku semata. Lebih jauh, membaca realita kehidupan sekeliling kita, pun bagian dari esensi membaca. Meski jarang orang memerhatikannya.

Namun, zaman menggiring keanehannya sendiri. Di tengah ramai orang menghidupkan gema untuk sadar membaca. Di sisi lain, ada saja pihak yang dengan saja ingin meredupkannya. Mulai dari melarang buku-buku tertentu untuk dibaca, melarang peredarannya, bahkan menyita semau sendiri. Sejarah mencatat berbagai peristiwa itu.

Beberapa di antaranya, seperti penyitaan 138 buku oleh tentara dan polisi di dua toko buku di Kediri, Jawa Timur, karena dicurigai berisi pandangan yang "terlarang" berupa "propaganda Partai Komunis Indonesia dan paham komunisme". Buku-buku yang disita pada 26 Desember 2018 itu (Koran Tempo, 28 Desember 2018) termasuk karya filsafat dan sejarah yang ditulis oleh Bung Karno, Soe Hok Gie, H. Abdul Mun’in, dan D.N. Aidit yang sudah lama beredar di negeri ini.

Penyitaan buku lain terduga PKI di Probolinggo Juli lalu, dan pemeriksaan beberapa aktivis pegiat vespa literasi. Dua pegiat literasi di Surabaya ditangkap polisi setelah memajang empat buku karangan DN Aidit di lapak baca gratis di Alun-alun Kraksaan, Probolinggo.

Kabar lain, juga datang dari berita tentang Organisasi yang menamai diri mereka BRIGADE MUSLIM INDONESIA, pada 03 Agustus 2019, mendatangi toko buku terbesar di Indonesia, yaitu Gramedia. Mereka menyisir buku-buku layaknya badan sensor, kemudian membawa beberapa buku yang dituding mengajarkan Marxisme & Leninisme untuk tidak dijual di Gramedia lagi.

Ternyata, di tengah maraknya penyadaran akan melek baca. Memberantas 'buta aksara' yang dianggap sebagai suatu bahaya. Karena akan sangat sulit melihat jendela dunia. Namun, ada yang lebih bahaya dari tak bisa membaca. Ada yang jauh bahaya, dari tak mampu melihat jendela dunia. Adalah mereka yang bisa membaca, tapi memilih tak mau membaca. Dan yang lebih bahaya lagi, mereka yang bisa membaca, tapi tak memiliki kepedulian terhadap sesama. Bahkan bersikeras mematikannya. Seenak sendiri melarang buku-buku beredar--melarang gema sadar membaca--apalagi yang lebih memalukan saat orang-orang beranjak untuk peduli, tapi dengan segenap cara lebih menutup mata dan bersikeras merusak cahayanya? Tidak ada buku yang berbahaya. Yang berbahaya justru  sikap semena-mena dan merasa paling tahu atas segalanya. Menghakimi orang lain, penuh tipu daya. Semoga bukan kita. Semoga lewat peringatan hari Aksara Internasional ini, dapat menjadi self reminder tersendiri. Akan betapa pentingnya untuk memiliki sifat pembelajar. Tak bosan belajar dengan berbagai upaya. Semata, agar terbentuk keluasan hati, untuk melihat berbagai perbedaan yang ada. Dengan lebih bijaksana.

Oleh: Siti Rokhanah

Nb: Pernah dimuat di radar Tegal

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama