pict: kompas.com |
Mencari sunyi, sambil buka-buka layar dunai ef bi. Mata saya dipaksa berhenti pada beberapa postingan sama. Sebuah postingan baliho iklan salah satu brand hijab ternama.
"Korban tu ga wajib, yg wajib tu berhijab,"
Demikian bunyi postingan papan iklan salah satu brand hijab. Suatu hal yang amat menggelitik. Menarik mata untuk lebih mendelik. Pada suatu hal yang lagi-lagi sama. Memakai dalih agama, untuk hal yang tak semestinya.
Beberapa hari terakhir, baliho bando yang dipasang brand hijab itu tertera di Gerbang Tol Pasteur viral di media sosial. Pihaknya mengakui, konten iklan tersebut dibuat oleh mereka dan sudah diturunkan sejak 4 Agustus 2019.
Baliho bando miliknya di Gerbang Tol Pasteur banyak dibicarakan di media sosial. Iklan di baliho itu memperlihatkan kambing berhijab.
Tak hanya itu, gambar kepala hewan kurban, kambing, berhijab merah muda sambil menjulurkan lidah juga menuai kritik warganet. Beberapa orang menilai gambar tersebut sebagai bentuk pelecehan.
Sebagai masyarakat yang berkultur agamis, melihat hal kesepertiituan, pasti miris. Secara etika, gambar kambing berhijab saja, saya pikir sudah tak semestinya. Mengurangi esensi hijab. Apalagi membenturkan dua hukum, menjadi suatu kalimat seakan keren padahal sekarepe dewek?
Direktur
Sales and Marketingnya
mengatakan, Iklan itu tidak memiliki niat melecehkan siapa pun melalui konten
iklan tersebut. Namun, menurut dia, justru ingin mengingatkan masyarakat bahwa
muslimah harus berhijab. Emang harus caranya gitu ya?
"Kami menurunkan konten iklan tersebut karena kami menghargai adanya perbedaan opini di tengah masyarakat. Kami akan mengganti dengan konten yang lain," ujarnya dalam konferensi pers di Jalan Citarum, Kota Bandung, Senin 5 Agustus 2019.
Jadi teringat tahun sebelumnya, adapula salah satu
brand hijab yang memiliki kasus senada. Seirama. Dengan gaya promosi
yang cukup membuat aneka kontroversi. Yakni hijab dengan bersertifikat halal
dari MUI. Masyarakat awam, tentu akan menjadi cemas. Seakan sebuah alarm untuk
mengecek semua hijab yang dimiliki, apakah sudah halal atau belum? Apakah
seratnya sudah halal belum? Apakah aku harus menggantinya dengan hijab
bersertifikat halal dari MUI itu? Apakah nanti kalau dipakai sholat jadi tidak sah sholatnya? Jadi membuat
berbagai polemic kerancuan dalam masyarakat awam. Meski setelah dikonfirmasi,
dan penjelasan detail, pihaknya mencabut itu. Sekarang, seperti disuguhkan
dalam menu yang sama. Meski bukan dari brand
hijab yang sama. Namun, saya pikir memiliki pola yang sama.
Saya kembali berfikir, sebenarnya hal-hal semacam ini arahnya kemana? Memang agar kontroversi? menarik umpan biar viral? atau kemana? Kok yo gitu-gitu terus ya?
Islam bukan berarti hanya Ibadah ritual saja. Kita sama-sama tahu, Islam bisa dijadikan prinsipil, dalam segala hal. Termasuk bidang ekonomi. Bukankah Rasulullaah juga berjualan? Dengan kejujurannya dalam berdagang, ia semakin dipercaya. Tentu hal-hal itu lebih esensial adanya.
Saya mempunyai prinsipil demikian. Keluwesan dalam beragama agaknya semakin perlu adanya. Dalam mengimani hal apapun. Terlebih kalau sudah berhadapan dengan masyarakat. Yang memang, sama-sama kita tahu, kemajemukannya.
Saya jadi teringat pernah membeli suatu produk herbal. Sejenis madu, tapi ada campuran herbal lainnya. Di kemasannya tertulis,
"Sebelum diminum, bacalah basmallah. Minumlah dengan tangan kanan, dan sambil duduk."
Bagi saya, itu salah satu penempatan syiar yang informatif. Tak mengganggu, apalagi memuat kontroversi. Juga tak membuat orang lain merasa terganggu dengan nada kalimatnya.
Zaman memang sudah sedemikian berubah. Trend menutup
aurat dengan hijab syar'i, bukan asing lagi. Para dedek-dedek gemes
muslimah anyaran yang baru tau hal kesepertituan pun begitu antusias.
Tak memungkinkan, istilah syar'i
dalam pandangan mereka, seringkali hanya terpaku pada baju luarannya saja.
Gamis tak menerawang, kerudung menutup dada, tak lupa kaos kaki. Memakainya pun
tak seperti zaman dulu. Ada yang diintrogasi, dituduh subversif, dan hal-hal
tak menyenangkan hati. Memakai hijab pada era kini, tak luput seperti memilih
menu baju yang sudah tertera di lemari. Bebas pilih apa yang disukai. Didukung
berbagai brand hijab tersedia di
sana-sini. Efek lainnya, industri per-hijab-an pun kian tak terhitung jari.
Dari kalangan penjahit biasa sampai artis ternama. Mereka mulai gencar
memasarkannya.
Di satu sisi, suatu cuaca positif hijab terbangun
sudah. Beda dengan cuaca masa depan kita, yang entah Sisi lainnya, ia menjadi berbagai objek
komoditas tertentu. Termasuk ada yang hanya mementingkan materi saja. Tak
memedulikan esensi hijab. Baik itu dari ketentuan syariatnya, maupun dalam hal lainnya.
Seperti cara beriklannya.
Jangan sampai kapitalisme ramai-ramai kita kutuk. Namun, dalam diam kita peluk. Lalu ditampilkan kembali atas nama agama. Meski intinya tetap sama; mencari duit semata.