Diskusi Novel Kubah



Rabu, 21 Oktober 2020, sedulur LPM  Tanpa Titik melaksanakan diskusi rutinan yang diadakan dua minggu  sekali. Awan yang sedikit mendung menemani diskusi kali ini, diawali dengan membaca Al Fatihah kemudian dilanjutkan menyanyikan lagu Indonesia Raya Stanza I, II, III. Muqoddimah tentang resensi buku yang telah dibuat oleh Heri Mulyono berjudul Kubah dibacakan oleh peserta diskusi secara berurutan.

Peresensi memaparkan pendapatnya bahwa buku yang berjudul Kubah karya Ahmad Tohari membahas tentang antropologi yang di latarbelakangi atas kejadian G/30/SPKI. Dimana dalam buku tersebut menerangkan tentang seseorang yang bernama Karman, ia adalah orang yang cerdas, peka terhadap sosial, namun mudah terpengaruh. Awal mula Karman menjadi komunis ketika ia merasa gundah karena kehilangan orang-orang yang duhulu selalu hadir di dalam jiwanya, Rifah sosok yang cantik jelita yang menjadi dambaan Karman. Pada saat itu Rifah sudah dilamar oleh lelaki lain, dimana hal tersebut membuat Karman merasakan patah hati dan hampir putus asa. Dalam kondisinya itu, Karman diambil kesempatannya oleh tiga orang yang memberikan pengaruh besar mengenai komunisme. Hingga akhirnya, Karman terhasut dan hanyut dalam pengaruh tersebut.

Sedikit menjelaskan mengenai penggalan cerita, peresensi juga menjelaskan mengenai unsur dalam novel tersebut yang meliputi tokoh dan penokohan, diantaranya adalah Karman sebagai tokoh utama yang cerdas dan peka terhadap sosial, namun mudah terpengaruh. H. Bakir, ia adalah juragan yang kaya raya dan dermawan. Ada juga Margo, Triman dan Si gigi baja yang menghasut Karman agar masuk ke dalam partai Komunis. Kemudian Marni, istri dari Karman, dan beberapa tokoh lainnya. Alur yang diceritakan berupa alur campuran, dengan latar tempat di Desa Pegatan dan Pulau Buru. Latar suasana yang tergambarkan ada senang, kecewa, sedih bahkan mengharukan. Latar waktu yang terjadi dalam cerita tersebut sekitar tahun 1965. Amanat yang bisa diambil dari cerita tersebut adalah janganlah mempermasalahkan sesuatu yang sudah terjadi, karena akan menghambat proses yang akan terjadi di masa depan dan janganlah mudah terpengaruh terhadap suatu hal.

Jalannya diskusi sangat menarik, sedulur LPM berantusias menanggapinya.

“Apa hikmah yang dapat kita ambil dari cerita tersebut?” tanya Asbiq.

“Apa yang menyebabkan Karman masuk ke dalam partai Komunis tersebut? dan mengapa Anda mengambil buku itu untuk didiskusikan?” sambung Retno

“Apa saja nilai budaya dan nilai sosial yang tekandung dalam novel tersebut?” tutur Amal

Dijelaskan bahwa hikmah dari novel tersebut adalah kita dapat belajar mengenai sejarah, di samping itu kita juga dapat belajar mengenai masa atau kejadian yang terjadi di era tersebut. Kemudian, kita bisa belajar memahami, menerima dan memaafkan atas apa yang terjadi.

Sosok Karman menjadi komunis karena ia dalam keadaan lemah, gundah gulana, terpuruk karena cintanya tidak diterima oleh Rifah, hingga kondisi tersebut dimanfaatkan oleh tiga pelopor yang memengaruhi ideologi komunis. Karmanpun terjerumus ke dalamnya. Pada awalnya, mungkin Karman tidak mengetahui mengenai ideologi tersebut, namun karena ia sering dicekoki dan terus menerus dipengaruhi, maka menjadikan ia terbawa pada arus komunis.

Diangkatnya novel tersebut sebagai bahan diskusi yaitu agar kita dapat belajar mengenai antropologi, sejarah, sosial dan budaya.  Nilai budaya yang dapat kita ambil yaitu masyarakat yang legowo dan mudah menerima suatu keadaan, dan nilai-nilai lain yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk nilai sosial Iqbal memberikan pendapat bahwa kemungkinan si penulis ingin memberitahu kepada pembaca bahwa tidak semua komunis memiliki nilai yang buruk, dan mereka juga nantinya akan bertaubat. Jadi, jangan selalu menilai bahwa komunis memiliki nilai buruk.

Syifa menambahkan sedikit cerita bahwa Karman menjadi komunis karena pengaruh dari beberapa orang. Karman yang awalnya berbudi baik yang selalu mendatangi masjid untuk berjamaah kemudian berubah, ia justru tidak pernah menginjak kembali ke Masjid. Karman kemudian ditangkap polisi hingga ia dipenjara selama dua belas tahun. Pada saat itu, Karman memiliki Istri yang bernama Marni dan tiga orang anak. Saat di dalam penjara, ia mengalami banyak problematika kehidupan seperti halnya ia ditinggal istrinya menikah lagi. Marni menikah lagi karena kondisi ekonomi yang sangat mendesak. Setelah Karman keluar dari penjara, ia merasa kebingungan dan tidak memiliki arah pulang serta tujuan hidup. Karman menyusuri jalan dengan berbagai kebingungan. Sampai ia singgah di tempat pamannya. Ia mengetahui bahwa Marni telah menikah lagi, dan salah satu anaknya diasuh oleh saudaranya. Lalu Karman kembali ke kampung halamannya di desa Pegaten, ia menempatkan dirinya di lingkungan hidupnya. Karman kembali berjamaah di Masjid serta bekerja kepada H. Bakir. Penduduk desa Pegaten menerima dan memaafkan Karman. Singkat cerita, Karman mengabdikan dirinya kepada masjid setempat dan membangun kubah atas ketrampilannya tanpa upah sepeserpun. Mengapa novel tersebut bernama kubah, karena cerita akhirnya mengisahkan tokoh utama yang membangunkan kubah untuk masjid di tempat tersebut.

Beberapa tambahan juga diutarakan oleh sedulur LPM. Mereka banyak mengupas mengenai sejarah, alur, kebahasaan, dan realiata dalam kehidupan. Moderator menarik kesimpulan bahwa novel tersebut merupakan novel antropologi yang mengupas banyak sejarah, sosial dan budaya. Gaya kebahasaanya mudah dipahami, dan alurnya campuran. Selain itu kisahnya menggambarkan bagaimana kehidupan di era tersebut. Adapun untuk nilai sosial dan budaya dapat kita padupadankan dalam kehidupan sosial kita, bagaimana bentuk dan penerapannya.  

Penulis : Tim Redaksi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama