Sebuah Melodi di bawah Hujan


Pict : ig @rebekah.lane_art

 “Kau yakin tak ingin ikut, Mel?”.

Aku menghela nafas panjang. Pertanyaan itu lagi. Sudah puluhan kali dia menanyaiku pertanyaan yang sama dalam seminggu ini. Membujukku dengan mengiming-imingi hadiah yang menjanjikan. Ya, terbang ke kota paling romantis dan mengikuti summer course-pembelajaran musim panas di Paris. Siapa yang tak ingin kesana? Aku yakin ribuan orang juga sedang memperjuangkan kesempatan ini. Lagi-lagi hati dan otakku tak sinkron. Hatiku berkata ingin, namun otakku melarangnya. Aku bangkit dari dudukku meninggalkan Anya yang masih menunggu jawabanku.

Kelas-kelas sore ini sudah terlihat sepi. Jam sekolah memang sudah berakhir 2 jam yang lalu. Hanya saja aku dan Anya harus melaksanakan tugas piket dan membahas hal yang memuakkan ini. Dengan langkah gontai, aku menyusuri lobi menuju gerbang sekolah. Jalanan siang ini terlihat ramai seperti biasanya. Namun halte bus di depan sekolahku terlihat tidak begitu ramai. Hanya terdapat beberapa orang yang berseragam sama denganku. Dua diantaranya sedang bercanda hingga tertawa terbahak-bahak. Entah hal lucu apa yang mereka bahas sampai membuatnya begitu.

“Mel, kenapa aku ditinggal?”

Sebuah suara sontak membuatku terkejut. Hampir saja aku terjengkang karena kaget. Dengan nafas yang masih terengah-engah dan wajah yang kesal ia mengambil posisi duduk disebelahku. Aku hanya melirik dan tak menanggapi. Malas rasanya harus membahas ini lagi.

“Ini kesempatan emas Mel, jangan sampai kau menyia-nyiakannya”.

Ucap Anya dengan nada memelas. Tampaknya ia tak putus asa dan terus merayuku agar mau mengikuti Kompetisi Piano ini. Lagi-lagi aku hanya menanggapinya dengan helaan nafas sambil memalingkan muka. Aku tentu sangat tahu bahwa kompetisi ini adalah ajang bergengsi untuk para pianis. Namun aku harus berfikir dua kali untuk mengikuti perlombaan tersebut. Lagipula, apakah aku layak disebut pianis? Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu.

“Ayah tak akan memberiku izin”.

Ucapku dengan pasrah dan beranjak pergi memasuki bus yang baru saja datang, meninggalkan Anya yang raut wajahnya sulit kuartikan. Anya tak mungkin kaget karna jawabanku. Hanya saja mungkin ia tak habis pikir, mengapa Ayah begitu menentangku untuk mengikuti ajang bergengsi itu. Ataupun sekadar memainkan piano didalam rumah.

****                       

“Darimana saja nak?”

suara bariton itu menyambutku begitu aku sampai dirumah. Siapa lagi kalau bukan ayah. Kami hanya tinggal berdua.

“Melody piket hari ini yah”.

Jawabku sambil mencium tangannya.

“Ayah dengar ada Kompetisi ‘sialan’ itu lagi ya tahun ini?”.

Tanya ayah dengan raut wajah tak suka. Aku hanya menunduk, aku tahu ayah pasti akan melarang.

“Kau tahu? Ayah akan sangat marah jika kau mengikutinya”.

Sudah kuduga ayah akan berkata seperti itu. Tapi entah keberanian darimana, tanpa berpikir panjang aku refleks menjawabi ayah.

“Tahun ini Melody akan ikut yah. Melody harus ikut”.

Ucapku tanpa mengubah posisi. Aku tak berani menatap wajah ayah yang saat ini pasti sedang merah padam karena mendengar jawabanku. Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku lancang menjawab seperti itu. Tapi kenapa salah? Tahun-tahun sebelumnya aku sudah menahan agar tidak mengikuti kompetisi ini. Namun tidak untuk tahun ini. Hatiku bergejolak ingin memberontak pada ayah. Tapi nyaliku menciut tiap kali membayangkan wajah marah ayah. Aku terus menunduk sambil memainkan ujung seragamku.

Braaaakkkk!!!

Ayah menggebrak meja dengan sangat keras. Air mata yang sedari tadi kubendung akhirnya tumpah juga. Tubuhku bergetar. Aku memejamkan mata sambil menggigit ujung jariku dengan air mata yang terus jatuh.

“Sudah berapa kali ayah bilang kepadamu? Jangan sekali-kali mengikuti lomba tak berguna seperti itu. Kau tak mendengarkan ayah? Tak usah bemain piano lagi! Ayah melarangmu bermain piano! Kau mau jadi seperti ibumu yang pergi hanya karena keegoisannya? Hah?!”

Nada bicara ayah meninggi. Kalimat yang kubenci akhirnya terdengar lagi. Pasti karena ibu. Ayah selalu menyangkut-pautkan piano dengan ibu. Hatiku berdenyut nyeri mendengar Ayah berkata seperti itu. Kurkira Ayah tak akan mengucapkannya lagi. Aku memberontak. Jiwaku ada pada melodi indah piano dengan kelembutan tuts nya. Ayah tak bisa melarangku seperti ini terus menerus.

“Kenapa yah? Apa salahnya?”.

Aku tak ingin mendengar kata-kata ayah yang menyakitkan lagi. Aku langsung bergegas masuk ke kamarku. Meninggalkan ayah yang masih mengepalkan tangan dengan gigi-giginya yang bergemletuk. Aku menangis tersedu didalam kamar. Malam ini, rembulan berselimut kabut menjadi temanku. Seolah mengiringi setiap sesenggukan dari tangisku dan mencoba menenangkanku.

****

Sejak dulu, ayah selalu melarangku bermain piano. Alasanya sederhana saja, hanya karena ibu. Ibu mahir bermain piano, barangkali seorang pianis. Setiap nada tuts piano adalah nyawanya yang sekarang mungkin sudah menurun kepadaku. Ibu yang gigih mencapai impiannya dan ayah dengan sifat temperamennya, membuat usia pernikahan mereka tak berlangsung lama.

Itu yang membuat ayah beranggapan bahwa piano buruk untuk masa depanku. Jika dahulu tak sefrekuensi, kenapa mereka harus menikah? Pertanyaan seperti itu seringkali muncul dalam pikiranku. Aku selalu menyalahkan kedua orangtuaku jika sedang dalam keadaan seperti ini. Rasanya sakit sekali mengingat kedua orangtuaku yang tak lagi bersama. Imbasnya adalah aku yang kini menjadi terbelenggu dalam bayangan semu tak berarah.

Melody, nama pemberian dari ibu. Melodi piano adalah hidupnya. Maka ibu juga ingin aku menjadi melodi dalam setiap detak jantungnya. Namun, kenapa sekarang ibu pergi? Ah entahlah, sakit rasanya jika mengingat itu. Dan Raina, nama pemberian ayah yang artinya hujan. Karena pada malam saat aku dilahirkan, hujan turun dengan derasnya. Disamping itu, hujan memiliki filosofi tersendiri bagi Ayah. Kata Ayah, jadilah seperti hujan meskipun berjuta kali jatuh, namun ia selalu tahu bagaimana caranya untuk kembali bangkit. Karena ada filosofi seperti itu didalam namaku, rasanya tak pantas jika aku menyerah begitu saja pada impianku. Aku harus menggapainya, hingga tercapai.                             

“Sungguh? Kau tak sedang bercanda bukan?”.

Tanya Anya antusias ketika ku katakan ingin mengikuti kompetisi itu. Matanya berbinar sambil menggoyangkan pundakku.

“Baiklah, aku akan mengurus semua registrasi pendaftarannya. Kau hanya perlu berlatih untuk perform bulan depan, Mel”.

“Terimakasih An, aku tak tahu bagaimana nasibku jika tak bertemu denganmu” ucapku sambil membentangkan tangan hendak memeluk Anya, sahabat terbaikku.

“Ah kau ini berlebihan. Aku tak berarti apa-apa jika kau sendiri tak mau mengubah nasibmu. Kegigihanmulah yang mengubahmu, bukan aku. Jadilah seperti hujan Mel, seperti namamu, Raina”.

Satu bulir air mata mengalir dipipiku. Anya memeluk dan meyakinkanku atas keputusan yang kupilih. Bahwa hidup tak seburuk yang kupikirkan.

****

Sebulan berlalu. Aku berlatih dengan sungguh-sungguh. Akhirnya aku dapat berdamai dengan ayah. Ayah memberiku izin untuk mengikuti kompetisi ini. Selain itu, sekolahku juga sangat antusias ketika mendengar aku akan mengikuti kompetisi bergengsi ini. Katanya aku akan difasilitasi apapun yang akan mengantarkanku hingga ajang kompetisi itu dimulai. Ah, rasanya seperti mimpi bisa berada disini.

“The next perfomance, Moonlight Sonata from Melody Raina”.

Detak jantungku mulai tak beraturan. Aku sangat nervous. Suara riuh tepuk tangan menggema ke penjuru ruangan mengiringi langkahku menuju ke tengah panggung. Mereka bertepuk tangan antusias sambil terus memanggil namaku.

“Melody, Melody, Melody”.

Aku mulai memainkan piano yang ada didepanku. Melodi piano yang kumainkan mengalun pasti. Menyisakan hening dan diriku yang menjadi pusat perhatian. Jariku lincah memainkan tuts piano. Menyatu dengan ritme lagu yang kubawakan dan mampu menghipnotis banyak orang. Malam ini, hujan turun dengan derasnya. Meskipun tak membasahi orang-orang didalam studio, aku dapat merasakan hujan yang menampar tanah. Mencium aroma tanah yang marah namun didinginkan oleh rayuan angin malam. Ya, melodi dibawah hujan malam ini yang kubawakan sangat sempurna. Mendapat tepuk tangan lebih meriah dari yang sebelumnya dan berhasil mendapatkan summer course di Paris. Belajar selama musim panas di kota paling romantis. Ah, indahnya. Aku bahkan tak percaya bisa melakukan ini. Ayah memelukku dengan erat. Aku bisa merasakan air mata ayah yang menetes dibahuku namun buru-buru diusap olehnya.

“Ayah bangga kepadamu, nak. Maafkan ayah yang selalu menghalangi mimpimu. Jangan berhenti disini. Jangan takut, ayah ada dibelakangmu”.

Aku tak kuasa menahan tangis. Perkataan ayah begitu menyentuh malam ini. Terimakasih kepada diriku sendiri yang telah berjuang sejauh ini. Terimakasih karena telah berhenti menyalahkan yang sebenarnya tak pantas disalahkan. Karena aku melawan takdir jika terus menerus menyalahkan kedua orangtuaku yang telah berpisah.

“Ayah, Ibu, malam ini aku persembahkan kemenanganku untuk kalian. Apapun yang terjadi, aku akan tetap menyayangi kalian”.

Ucapku dalam hati, berjanji kepada diriku sendiri.

Menyalahkan hanya akan membuang waktu. Sebesar apapun kesalahan yang kamu timpakan ke orang lain, dan sebesar apapun kamu menyalahkannya, hal tersebut tidak akan mengubahmu” – Wayne Dyer

-T A M A T-

Penulis : Rosiana

Editor : Salisa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama