Senja dan Apa-apa yang Melebur di Antara Kita

pict : ig @ummuhusein88

Matahari pulang di langit teduh. Seperti mengisyaratkan heningnya padaku. Sore menjadi hal-hal biasa orang pulang dan datang. Pulang dari kesehariannya, atau dari kepergiannya. Demikian aku juga. Kurasai sesuatu datang dan berteduh di mataku.

Setiap minggu, aku dan teman-teman penggerak literasi mengadakan acara. Salah satu suara itu, mulai datang mengetuk mataku.

“Sudah dari tadi, Rahma?” Tegur Ayas saat aku sedang asik melahap novelnya Kang Abik.

“Ehh, kamu. Ya lumayan, kurang lebih lima belas menit sebelum kamu datang.” Jawabku agak gugup.

“Oke lah, yang lain belum datang ya?”

“Belum, Yas, mungkin masih ada kegiatan. Kita tunggu saja.”

Setiap kali aku berhadapan dengannya, ada yang berbeda mengalir dalam nadiku.

Dahulu saat aku baru pertama kali bertemu dengannya, sempat pandanganku dan pandangannya bersatu. Namun, aku dan ia tersipu malu. Masih kurekam saja kejadian itu.

“Siapa namamu?” Tanya Ayas sambil menyodorkan tangannya untuk berkenalan. Saat itu, ia sedang mencari anggota untuk komunitasnya. Kebetulan aku mengetahui dan tertarik untuk mengikutinya.

“Namaku Rahma Rahmania, biasa dipanggil Rahma. Namamu sendiri?”

“Ya, Rahma. Namaku Muhammad Ayas, biasa dipanggil Ayas. Berapa usiamu? Biar aku catat”

“Usiaku 23 tahun. Kalau boleh tahu, kamu sendiri?”

“Wah, usia lulus sarjana yah. Kalau aku, 25 tahun”

“Ohh, maaf aku kira kita sepantaran. Ya maaf Mas Ayas”

“Tenang saja, panggil aku Ayas. Tanpa Mas, atau Abang”

Sampai sekarang, aku sendiri tak mengerti mengapa Ayas tak mau kupanggil Mas atau sapaan tua lainnya.

***

Kurang lebih satu tahun komunitas literasi ini berjalan. Semakin lama, aku pun makin mengenalnya. Lagi-lagi saat aku berhadapan dengannya, sesuatu itu berubah seketika. Serupa bunga yang layu, mekar sempurna. Ia teduh dan meneduhkan. Ia tenang dan menenangkan.

“Assalamualaikum, Rahma.”

Pesan masuk ke handponeku seusai salat ashar. Ayas. Jarang sekali ia mengirim pesan padaku.

“Waalaikumsalam. Ada apa ya?”

“Rahma. Bisa bantu aku?”

“Apa yang bisa kubantu, Yas?”

“Sore ini. Aku punya jadwal sosialisasi literasi di tetangga desa. Temenin aku ya?”

Bingung saja, mengapa tiba-tiba seorang Ayas memintaku untuk menemaninya? Padahal, biasanya aku dan ia hanya bisa bersama dalam pertemuan komunitas saja.

Kubalas pesan dari Ayas, barangkali ia sudah menunggu.

“Oke, segera aku menyiapkan diri.”

“Aku tunggu di depan balai desa, yah.”

Dengan cepat aku bergegas menuju tempat. Kakiku melangkah sedangkan perasaanku gundah. Mengingat, saat berhadapan dengannya, aku selalu merasa gugup dan salah tingkah.

Dua jam acara itu berlangsung. Seringkali dengan tidak sengaja kutatap matanya. Melihat senyumannya, dan mendengar suaranya yang lembut menyapa.

“Alhamdulillah. Selesai juga jadwal hari ini, makasih yah Rahma sudah mau menemaniku kali ini.”

“Alhamdulillah, sama-sama, Yas. Senang dapat membantumu.” 

***

Sepanjang jalan pulang, hatiku tetap berbeda. Ketidaksengajaanku saat menatap matanya, membuatku masih teringatnya. Mungkin Ayas juga merasakan betapa salah tingkahnya aku. Gagap dan gugupnya dalam berbicara.

Pertemuan minggu berikutnya, aku dan Ayas datang di alun-alun terlebih dahulu. Tanpa kesengajaan, hal ini sering terjadi. Berbeda dengan teman yang lain, aku dan Ayas justru kerapkali datang bersamaan. Sebuah kesempatan untuk lebih banyak berbincang dengannya.

Tiba-tiba hatiku berbicara dan disetujui oleh lisan yang mengucap kata. Pertanyaan ini muncul berdasarkan perasaan, rasa yang selama ini berkecamuk di sukmaku. Kutegaskan dan beranikan diri untuk melontarkan pertanyaan kepada Ayas. Namun, dibalik pertanyaan itu ada makna yang tersirat di dalamnya. Tak mengerti Ayas mengetahuinya atau hanya menganggap pertanyaan biasa.

“Yas, aku sedang banyak menulis cerpen. Biar lebih nendang, bolehkah aku bertanya padamu? Ya hitung-hitung riset kecil-kecilan.” Aku berusaha menguasai diri, menghilangkan gagap dan gugupku.

“Oh boleh Rahma. Apa yang kamu ingin tanyakan?”

Jawab Ayas penuh antusias.

Angin sore sejuk menyapa di sudut Alun-alun kota.

“Menurutmu, etis nggak sih jika ada seorang wanita yang lebih dahulu menyatakan perasaanya kepada seseorang yang disukainya?” Tanyaku hati-hati, takut terlihat mengada-ada.

“Oalaahhh itu toh. Sependek pengetahuanku, selain Khadijah, Fatimah putri Rasulullah juga lebih dahulu mengungkapkan keinginannya menikah dengan Ali bin Abi Thalib.” Jawabnya dengan disertai senyuman yang mengembang.

“Jadi boleh kan yah? Jika wanita itu sudah merasa jatuh cinta, ia yang terlebih dahulu menembaknya. Maksudnya, menyatakan cinta dan meminta untuk dinikahinya?” Tanyaku memastikan.

“Ya seperti itu kurang lebihnya Rahma.”

“Oke, terimakasih ya, Yas.” Perasaanku agak lega, seperti ada celah longgar di dalamnya.

“Sama-sama. Jangan lupa kalau cerpennya udah jadi, kasih tau aku ya. Biar aku juga menikmati bacaan itu.”

Aku dan Ayas tersenyum, teman-teman yang lain satu persatu berdatangan.

***

Hatiku semakin yakin. Bulir-bulir cinta itu semakin tumbuh. Selain Ayas adalah pria yang tampan, ia juga sangat kritis dan analitis. Pengabdiannya pada sesama begitu besar. Juga tanggungjawabnya yang sudah kutemui dan rasakan sendiri. Agamanya cukup lumayan, tata bahasa dan bicaranya juga menata. Pasti aku beruntung jika mampu menjadi permaisurinya.

Beberapa hari berikutnya. Aku menyibukkan diri dengan berlatih di hadapan cermin. Kubulatkan tekad agar pertemuan besok, aku akan meminta waktunya untuk memastikan Ayas mengetahui bahwa namanya telah menempati ruang yang selama ini kosong dalam sukmaku. Harapanku ia menyambutnya dengan hal yang serupa. Lalu, setelah hal ini beberapa waktu kemudian aku dan Ayas menjadi raja dan ratu dalam waktu sehari. Bersanding menguntai kebahagiaan di pelaminan.

Merekahlah sukmaku saat aku menuju alun-alun kota. Seperti biasa, di waktu senja.

Tak kusangka, harapanku bertolak belakang dengan kenyataan. Hanyalah kegetiran dan kepahitan yang kurasakan. Hati dan jiwaku hancur berkeping-keping. Seperti dihantam bebatuan yang amat tajam. Di hadapanku, pandangan berbeda mengurungkan niatku.

Saat aku tiba di sudut alun-alun kota, nampak Ayas sedang duduk berdampingan dengan salah seorang wanita. Ia bertubuh mungil, berjilbab biru muda yang mengulur panjang di tubuhnya. Tangannya memegang novel karya Kang Abik. Nampak sangat akrab, obrolannya kelihatan sedang seru, menarik, dan asik.

Kakiku melemas, tanganku berkeringat, dan mataku mulai berkaca. Kucoba mendekat, dengan rasa penasaran yang kian melekat. Menyapa mereka dari belakang tempat mereka duduk.

“Assalamualaikum.” Sapaku pelan menyembunyikan segala kegundahan.

“Waalaikumsalam. Rahma?”

Bukan Ayas yang menyahut. Namun, wanita berjilbab biru muda itu yang menjawab salamku dengan senyum sumringahnya. Wajahnya tak asing, jelas aku mengenalinya. Hatiku semakin berkecamuk, panas, perih saja.

Ia adalah Sayyidina Awalina. Biasa kupanggil Lina. Teman semasa SMPku. Murid berprestasi di sekolah. Cantik rupa, juga ramah tamah orangnya. Tak begitu akrab, tapi aku mengenalnya.

“Loh kamu sudah saling kenal ya? Rahma, silakan duduk dulu.” Aku duduk di samping Lina. Berusaha tersenyum menanggapinya.

“Bagaimana bisa kamu ada di sini Lin? Senang bisa bertemu denganmu.” Tanyaku pada Lina dengan beribu rasa penasaran.

“Hmm, jadi begini Rahma. Lina adalah tunanganku. Sudah setengah tahun kami bertunangan. Rencananya, tahun depan kami akan menikah. Doakan saja ya.”

“Nah kebetulan aku pernah bercerita tentangmu kepada Lina. Tak kusangka, ternyata Lina mengenalmu. Bahkan ia tahu banyak tentangmu. Katanya kamu dulu sering masuk ke majalah sekolah.” Tutur Ayas.

Telingaku tajam mendengarkan pembicaraannya. Sungguh pedih saat kalimat itu keluar dari mulut Ayas. Pria yang sejak awal bertemu, aku menyukainya. Mengapa bisa, ia sudah bertunangan dengan temanku sendiri. Lina.

“Oh yah. Selamat ya Lin, sebentar lagi kamu dan Ayas akan menikah. Semoga dilancarkan semuanya.” Jawabku tersenyum. Senyum pembendung air mata.

“Aamiin. Makasih Rahma.”

“Oh ya, tadi aku sudah mengabarkan ke semua anggota bahwa hari ini pertemuan diliburkan dulu, kecuali kamu. Karena, Lina ingin sekali menjumpaimu. Untuk itu, biarlah kamu saja yang bersama kita.” Jelas Ayas kepadaku.

Angin bergemuruh, langit semakin menghitam.

“Oh sepeti itu ya. Tadinya aku juga ada acara, kalau pertemuan diliburkan aku minta diri saja ya, supaya bisa mengikuti acara lain. Gampang, lain kali kita bertemu lagi.”

Aku mengeluarkan alasan yang sepertinya tak masuk akal. Namun, mataku sudah tak kuat lagi untuk menahan tangis yang kian menguntal.

“Baiklah, hati-hati di jalan Rahma. Senang bertemu denganmu.” Ucap Lina sambil melontarkan senyuman manisnya.

“Permisi, Yas, Lin. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

***

Sekuat tenaga aku menahan bulir-bulir kristal yang hendak jatuh dari mata. Cepat-cepat kulangkahkan kaki pulang. Tak ingin berlama lagi meluapkan tangisan yang menggenang.

“Jadi… ini alasanmu dulu tak mau dipanggil Mas?”

“Kenapa kau datang meneduhkan dan pergi dengan menyakitkan?”

“Adakah datang dan pergi semuanya hanya persinggahan? Aku tahu aku salah. Aku salah menaruh harapan.” Pewarta hati mewawancarai hatiku sendiri. Sesuatu yang selalu kubaca meneduhkan, melebur tak beraturan. Dibawa pulang bersama senja—bersama harapan yang bukan pada tuannya.

Penulis : Faa

Editor : Ana Oshibana

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama