Mengulik nilai kehidupan dari sosok Kinasih

Dokumenter LPM Tanpa Titik

    Rabu, 20 Januari 2021, sedulur LPM Tanpa Titik melaksanakan diskusi buku yang diadakan dua pekan sekali. Diskusi buku hari ini berbeda dengan diskusi sebelumnya, karena pada kesempatan kali ini ada penulisnya secara langsung. Semilir angin dan cuaca yang mendung membuat suasana nyaman, diawali dengan membaca surat Al fatihah kemudian dilanjutkan menyanyikan lagu Indonesia Raya Stanza I, Stanza II, dan Stanza III. Muqoddimah kali ini yaitu resensi buku yang berjudul “Mata Yang Enak Dipandang” yang dibacakan oleh seluruh peserta diskusi secara berurutan.

        Peresensi memaparkan pendapatnya tentang buku “Mata Yang Enak Dipandang” karya Siti Rokhanah. Dimana dalam buku tersebut dikisahkan seorang anak petani yang hidup sederhana. Orang tersebut bernama Kinasih, remaja yang memiliki kelembutan hati, sabar, ulet dan penurut. Di usia yang masih belia mau tidak mau, ia harus memakai jubah dewasa yang bukan ukurannya. Hari-harinya diisi dengan kegiatan mencuci, mengepel, pergi ke sawah, pergi ke kebun, dan membantu Emak berjualan. Sehingga tidak ada waktu untuk bermain, bahkan kinasih juga rela tidak sekolah.

       Kelembutan hati, kedewasaan, dan kemandirian turut menemani hari-harinya. Tanpa mengeluh, yang ada hanyalah bersyukur. Di usia 16 tahun Kinasih menikah dengan pilihan Emaknya. Sugiarto namanya, karakter suami yang hanya berpangku tangan kepada Kinasih, tidak mau bekerja ataupun menafkahi istrinya, akhirnya Kinasih memutuskan untuk bercerai dengan Sugiarto (suaminya).

       Tidak lama kemudian Kinasih menikah lagi dengan Budi, pernikahannya sangat romantis dan dikarunia seorang putri, Ratih Kumala namanya. Sifat kelembutan hati yang dimiliki Ibunya menurun kepada anaknya. Mala semangat bersekolah, hingga ia diterima di universitas ternama di Jogja, jurusan Sastra Inggris. Tentu jurusan ini sangat diimpikan dulu saat masih SMA.

       Beberapa kemudian Mala menikah dengan Ahmad Dewandaru. Mereka dikarunia anak yang sifatnya pun sama dengan ibunya dan neneknya, kelembutan hati. Namanya Ayunda Safitri Dewandaru.

      “Bahwasanya kita dapat mengambil pembelajaran mengenai bagaimana kita menyikapi kondisi hidup. Tokoh Kinasih dalam perjalanannya yang sudah lebih dulu merasakan hal-hal yang tidak semestinya ia lalui, namun dengan sabarnya ia menikmati dan menjalani takdir dengan begitu luar biasa. Gadis kecil pembawa sifat kelembutan hati yang abadi diturunkan kepada anaknya, Ratih Kumala“ Ungkap Asbiq Malaya.

Peresensi juga memaparkan unsur tokoh dan penokohan dalam novel tersebut. Diantaranya adalah Kinasih, Mbak Sari, Kumala, dan Ayunda yang memiliki sifat kelembutan hati. Kemudian Sugiarto yang sombong, acuh tak acuh, dan tidak bertanggung jawab. Budi yang perhatian dan penuh kasih sayang. Ahmad Dewandaru yang suka mengayomi. Novel tersebut menggunakan alur campuran. Dimana alur cerita dimulai dari awal, tengah, dan akhir cerita. Latar tempatnya di desa dengan suasana mengharukan.

        Kehadiran penulis novel di tengah-tengah kita membuat peserta pun antusias, terlihat dari beberapa pertanyaan pun dilontarkan satu per satu oleh peserta.

“Bagaimana cara menerbitkan novel?” tanya Syifa.

“Ketika ingin menulis sebuah novel apakah harus ada unsur instrinsik atau ekstrinsik?“ sambung Rista.

“Kesan dan Pesan apa saja yang ingin disampaikan seorang penulis dalam novel tersebut? “ lanjut Retno.

“Berawal dari apa novel tersebut?“ tanya Iin Sundari.

“Apakah novel tersebut diambil dari kisah nyata?“ sambung Silvi.

“Kenapa ketika menulis lebih menggunakan tentang alam dan bagaimana filosofi dari novel ini?“ lanjut Heri.

“Kenapa penulis lebih menyukai tentang kesenian” tanya Izzi.

      Penulis pun menjawab satu persatu pertanyaan tersebut. Pertama, cara menerbitkan novel, yang pastinya ketika sudah ada naskah kemudian datang ke penerbit. Penerbit ada dua macam yaitu penerbit Indie dan penerbit Mayor. Penerbit Indie itu lebih ke sendiri, dengan modal sendiri dan promosi sendiri. Penerbit Indie lebih banyak melatih diri untuk mencoba, untuk mempromosikan, dll. Selain itu, kebanyakan penulis yang sudah terkenal berawal dari penerbit Indie. Sedangkan penerbit Mayor adalah penerbit besar, tanpa modal dan biasanya diterbitkan di toko-toko besar seperti Gramedia. Kedua, ketika ingin menulis novel harus ada unsur intrinsik dan juga unsur ekstrinsik, dengan gaya bahasa bebas sesuai keinginan penulisnya. Ketiga, novel ini memiliki waktu selama kurang lebih 3 tahun sampai pada proses penerbitan. Keempat, ketika menulis novel ini kesannya berawal dari keinginan memberi dan menyampaikan sesuatu kepada pembaca. Kelima, novel ini menyajikan tentang alam, sesuai latar belakang penulisnya.

Beberapa tambahan juga diutarakan oleh para dulur LPM.

“Cara penyampaian alurnya sangat cepat sekali”. Ungkap Lutful.

"Kemudian ketika membahas sebuah seni, pasti memiliki makna tersendiri dari setiap gambarnya. Seperti halnya ketika Ana menyukai seni, berarti beliau sebagai objek terhadap seni tersebut. Novel ini lebih membahas tentang pedesaan, karena melihat latar belakang kehidupan penulis itu sendiri.” tambah Iqbal.

“Ketika menulis berusahalah untuk memiliki kepedulian terhadap orang lain dan ketika ingin menjadi penulis hal yang utama dilakukan adalah membaca, baik membaca buku maupun membaca sekitarnya”. Ungkap Ana.

Dokumenter LPM Tanpa Titik

Penulis : Retno

Editor : Salisa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama