Menjadi Seorang Perempuan
Pict : Medium.com |
Tulisan ini
dihasilkan dari beberapa keresahan dalam diri saya, maupun dalam diri orang
lain terkait perempuan. Hingga akhirnya saya mencoba untuk menorehkan sedikit
mengenai hal tersebut.
Apa yang terlintas
di benak Anda ketika mendengar kata Perempuan? Makhluk moody-an, cengeng, ribet, cerewet, galau-an, merasa dirinya selalu benar, dan banyak lagi yang lainnya.
Manusia perempuan pertama yaitu Siti Hawa, diciptakan oleh Allah SWT setelah
nabi Adam A.S. Perempuan
sering dikatakan bahwa mereka bengkok seperti tulang rusuk, jika diluruskan
dengan keras maka akan patah dan jika tidak diluruskan maka ia akan bengkok
selamanya. Perempuan memiliki hati yang lembut dan sensitif, mereka adalah
perasa yang baik. Memiliki insting
yang kuat, terutama bagi seorang ibu terhadap anaknya. Bahkan ilmuan pun
sepakat jika ikatan batin antara anak dan ibu adalah yang terkuat. Banyak sudut
pandang yang membahas tentang makhluk moody-an ini, berawal dari perjuangannya pada masa
penjajahan hingga di masa yang serba canggih seperti saat ini.
Di segala bidang dan unsur kehidupan, tentu di dalamnya
terdapat peran perempuan. Dari bidang kuliner sampai ke militer, tidak terlepas
dari sangkut paut seorang perempuan. Seperti halnya R.A Kartini, pejuang
emansipasi wanita atau Nyi Ageng yang mengatur strategi untuk mengusir penjajah
dari Kulonprogo, di era sekarang kita juga banyak mengenal para influencer perempuan seperti halnya
Najwa Shihab, Meri Riana, Gita Savitri Devi, dan mereka yang berpengaruh dalam
pemerintahan seperti Sri Mulyani, Tri Risma, dan Susi Pudjiastuti.
Di balik itu semua, tentunya perempuan mengemban beban
moril atas kehidupannya. Dalam realita lingkungan, perempuan dituntut untuk
bisa mengurus segala isi rumah, dari sumur, dapur, sampai kasur. Perempuan diberi
label harus pandai memasak, bersolek diri, tidak boleh sekolah tinggi, dan lain
sebagainya. Apalagi di zaman yang serba canggih dan maju ini banyak
standarisasi masyarakat mengenai perempuan, seperti halnya perempuan dituntut
untuk cantik, harus bisa masak, dan harus bisa mendidik anak.
Perempuan harus cantik
Dilansir dari
liputan6.com 84% perempuan Indonesia tidak percaya diri dengan kecantikannya.
Seringnya membandingkan diri dengan orang lain baik secara langsung ataupun
melalui media sosial membuat rasa percaya diri menjadi menciut. Definisi cantik sendiri
relatif dan beragam, tentu hal ini sangatlah subjektif. Tergantung pada apa
yang dilihat dan siapa yang melihat. Sebenarnya, di dalam setiap perempuan
sudah memiliki kecantikan tersendiri, seperti yang dikatakan oleh Meutia Hatta tokoh perempuan
Indonesia, kecantikan dari seseorang akan terpancar melalui hal yang ia
lakukan, bukan hanya penampilan fisik saja. Artinya, seorang wanita juga memerlukan
kecantikan hatinya. Jadi, kecantikan bukanlah sesuatu yang
harus dikejar, tetapi alangkah baiknya perlu dirawat dengan baik. Tidak akan
ada habisnya ketika kita megikuti standarisasi banyak orang atau mengikuti zaman,
maka terimalah diri kita apa adanya, dan ciptakanlah cinta pada diri sendiri.
Perempuan harus bisa masak
Lagi dan lagi, urusan dapur sumur kasur menjadi
perbincangan yang hangat di kalangan perempuan. Sampai-sampai muncul kalimat “perempuan harus bisa masak biar disayang
suami dan mertua!”, kalimat ini tidak asing lagi di telinga kita. Seperti menjadi
rukun dalam suatu pernikahan dan rumah tangga, perempuan dituntut untuk pandai
memasak. Padahal di luar sana sebagian besar koki, pramusaji, atau mereka yang
terjun di dunia kuliner adalah pria. Perempuan tidak dituntut untuk mahir dan
handal dalam urusan memasak, mereka tidak dapat memenuhi standarisasi bahwa
istri idaman adalah mereka yang pandai memasak. Namun hal ini bukan berarti
perempuan tidak perlu belajar untuk memasak, minimal memasak nasi dan maksimal nya
menyajikan hidangan untuk membahagiakan pasangan.
Perempuan harus bisa
mendidik anak
Ibu sebagai orang
yang mengandung anaknya selama 9 bulan, memiliki kedekatan batin yang spesial
dengan anaknya. Seorang ibu merupakan role model bagi anak-anaknya, seperti firman Allah
dalam surah Al-Furqan ayat 74 ” Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami istri-istri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi golongan
orang-orang yang bertaqwa”. Tugas untuk mendidik anak bukan
hanya semata-mata dilakukan oleh seorang ibu saja, melainkan tanggung jawab
dari sepasang orang tua. Dijelaskan bahwa orang tua sebagai madrasah pertama
bagi anak-anaknya. Bukan hanya soal mendidik anak, peran perempuan dalam suatu
rumah tangga memiliki kedudukan yang penting. Perempuan dalam rumah tangga
memegang tanggung jawab dalam memanajemen urusan keluarga, mengatur sirkulasi
keuangan dan lain sebagainya. Menurut Roslina Verauli, S.Psi seorang psikolog
anak dan keluarga menyatakan bahwa peran ibu 2/3 lebih banyak daripada ayah.
Dikatakan juga bahwa ibu berperan sebagai emotion work dan mental work. Sebagai emotion work perempuan menjadi pusat emosi yang
menentukan positif atau negatifnya suatu keluarga. Sedangkan sebagai mental work mencangkup tugas-tugas rumah tangga,
keuangan, dan kesehatan gizi keluarga.
Namun dalam hal ini, perempuan tidak bisa dibiarkan
sendiri. Mau seperti apapun ia mandiri, akan tetapi perempuan selalu butuh
pendamping. Mendidik anak bukan hanya tugas seorang ibu, melainkan tugas sepasang
orang tua. Perempuan juga memilki hak untuk menentukan pilihan hidupnya,
termasuk karir, kesenangan, keluarga, dan lain sebagainya.
Berbicara mengenai
keharusan perempuan, banyak hal yang menjadi fokus pembicaraan. Segala
gerak-geriknya seakan-akan menjadi bahan yang bisa untuk dikritik, kesalahan
tak seberapa besar di masyarakat bisa menjadi perbincangan berbulan-bulan.
Beban moril yang ditanggung seorang perempuan tentu tidaklah ringan, jangan
sampai terdengar kesan merendahkan, menyakiti atau bahkan menambah berat beban
yang dipikul seorang perempuan.
Penulis : Faa