dokumenter LPM Tanpa Titik |
Kamis, 08 Oktober 2020. Aliansi rakyat Tegal mengadakan aksi menuntut untuk dicabutnya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus law). Massa bergerak dari halaman depan Universitas Pancasakti Tegal dan menuju titik aksi di halaman depan gedung DPRD Kota Tegal. Peserta aksi diikuti oleh mahasiswa, buruh, petani dan rakyat Tegal. Namun dalam hal ini semua peserta mengatasnamakan rakyat. Dimulai pukul 09.45 WIB massa memasuki halaman depan gedung DPRD Kota Tegal dan memenuhi tempat tersebut. Mengingat adanya aksi di situasi pandemi, maka peserta aksi menerapkan protokol kesehatan dengan menggunakan masker, dan mencuci tangan.
Massa melakukan orasi untuk menyampaikan segala aspirasi, hak serta pendapatnya. Mahasiswa mengucapkan Sumpah Mahasiswa di hadapan polisi dan peserta aksi. Massa bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya, Mars Mahasiswa, Buruh Tani, serta Ibu Pertiwi. Adanya aksi tersebut dilatarbelakangi oleh keresahan masyarakat akibat disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus law). UU tersebut dirasa tidak sesuai dengan kondisi dan Negara Indonesia, seharusnya Indonesia difokuskan menangani COVID-19 baik anggaran maupun penyelesaiannya, akan tetapi hal itu justru dialihkan pada pengesahan UU Cipta Kerja (Omnibus law). Masyarakat tidak menyetujui keputusan tersebut karena dianggap dapat menyengsarakan masyarakat, menjadikan pemerintah anti masyarakat, dan hanya menguntungkan salah satu pihak.
Beberapa hal yang dituntut dalam aksi diantaranya DPR digaji setara UMR, sama halnya pekerja buruh atau rakyatnya. Bagi DPR tidak ada izin untuk cuti, untuk DPR yang membolos satu kali maka akan dipecat. Rakyat menginginkan apa yang telah ditetapkan harus dirasakan pula oleh para dewan. Saat aksi tengah berlangsung, massa bertambah dari siswa STM dan yang lainnya. Halaman depan gedung DPRD Kota Tegal dipenuhi massa.
Sekitar pukul 10.39 WIB, massa membakar ban serta menaburi bunga sambil berorasi dimana simbolik tersebut ditujukan kepada para DPR. Aksi sempat anarkis karena dari massa saling melempar botol, batu hingga membakar water barier, lemparan tersebut tertuju ke gedung DPR lebih tepatnya mengarah ke barisan polisi. Kejadian itu kemudian diamankan oleh polisi dan petugas keamanan lainnya. Kondisi aksi semakin memanas dan massa aksi semakin bertambah, hingga peserta aksi duduk untuk mendengarkan orasi. Dari orator menyampaikan beberapa pernyataan bahwasanya masyarakat sangat kecewa dengan DPR karena secara diam-diam mengesahkan UU Cipta Kerja (Omnibuslaw), DPR adalah wakil rakyat, seharusnya ia tidak takut dipecat. Kemudian massa menginkan dewan untuk bertanggung jawab dalam tugasnya serta memperbaiki rezim yang saat ini ataupun untuk waktu yang akan datang. Saat aksi, mereka sangat berantusias dalam melaksanakannya, siswa STM pun sempat menyampaikan pendapat dan harapannya di hadapan umum.
Pukul 11.39 massa masih menyuarakan pendapatnya dan kondisi makin memanas. Mereka bersorak-sorak dan meminta anggota dewan untuk keluar dan menemuui massa aksi. Beberapa anggota TNI tiba di tempat aksi guna mengamankan. Akan tetapi, setelah beberapa jam aksi berlangsung, belum terdapat titik temu bagi peserta aksi serta belum terbukanya forum audiensi antara peserta aksi dan pihak terkait.
Setelah itu, salah satu dari massa memperjelas dan membacakan tuntutan yang diberikan kepada DPR yaitu :
- Mengutuk tindakan DPR dengan disahkannya UU Cipta Kerja bahwa pemerintah Jokowi-Amin adalah rezim anti rakyatdan pro investor
- Hentikan diskriminasi, penangkapan aktivis
- Mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan Jokowi-Amin
- Sahkan RUU PKS
- Sahkan RUU masyarakat adat
- Hentikan rasisme negara Indonesia
- Mengutuk kriminalisasi oleh aparat
- Melaksanakan reforma agraris
- Menghentikan komersialisasi pendidikan
Aksi berakhir setelah pembacaan tuntutan pada pukul 14.20, massa membubarkan diri.
Penulis : Tim Redaksi