Dokumenter LPM Tanpa Titik |
Kamis, 4 Februari
2021, sedulur LPM Tanpa Titik melaksanakan diskusi yang diadakan setiap dua
minggu sekali. Cuaca yang mendung dengan rintikan gerimis membuat diskusi hari
ini terasa berbeda dari sebelumnya. Diawali dengan membaca surat Al-fatihah
kemudian dilanjutkan menyanyikan lagu Indonesia Raya Stanza I, Stanza II, dan
Stanza III. Muqoddimah, yaitu tentang Gender dalam Perspektif Masyarakat di Lingkungan Keluarga dibacakan oleh seluruh
peserta diskusi secara berurutan.
Penulis muqoddimah memaparkan pendapatnya mengenai
Gender dalam Perspektif Masyarakat di Lingkungan Keluarga. Mengenai Gender
dalam lingkup keluarga itu diperkerucut atau diperkecil. Gender merupakan suatu sifat yang melekat pada
kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun
kultural. Misalnya laki-laki kuat, rasional, perkasa. Sedangkan perempuan itu
lembut, berperasaan. Ketika membahas gender tidak terlepas dari feminis dan maskulin.
Sebenarnya antara perempuan dan laki-laki bisa di sama ratakan. Misalnya saja
perempuan dapat berpendidikan tinggi seperti seorang laki-laki, perempuan dapat
menjadi pemimpin, dsb. Tidak melulu perempuan itu hanya soal dapur, sumur dan
kasur saja.
Antusias
dari peserta yang begitu tinggi membuat semangat tersendiri pada diskusi hari
ini. Kemudian dari peserta memberikan pernyataan maupun pertanyaan mengenai
tema tersebut.
“Dengan adanya
kesetaraan gender tidak terjadi diskriminasi terhadap perempuan, namun tetap
pada kodratnya sebagai perempuan dan harus sadar akan kedudukannya. Lalu
bagaimana tanggapan dari penulis ketika ada seseorang yang mengatakan untuk apa
perempuan sekolah tinggi-tinggi, namun pada akhirnya perempuan hanya berada dan
bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga, di dapur, kasur dan sumur saja?“ tanya
Retno.
“Sebenarnya
kesetaraan gender itu menyamakan semua yang dilakukan oleh laki-laki atau ada
batasan mengenai gender itu sendiri?“ sambung Iin Sundari.
“Kenapa subjek atau
sasaran dari kesetaraan gender itu cenderung ke perempuan?” lanjut Lutful.
“Apa ada tujuan
lain supaya kedudukan perempuan setara dengan laki-laki, selain gender?”
sambung Vikar.
Syifa berpendapat bahwa asumsi mengenai anggapan
bahwa untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi yang pada akhirnya hanya di rumah
sebagai ibu rumah tangga, di dapur, kasur, dan sumur saja sudah mulai berkurang. Melihat kenyataannya
sekarang banyak perempuan yang berhasil dan perempuan yang berpendidikan
tinggi. Untuk mendidik anak-anaknya sebagaimana dalam lingkup agama bahwasannya
perempuan adalah madrasah utama bagi anak-anaknya, maka dari sinilah seorang
perempuan perlu berpendidikan tinggi. Dan ketika ada orang yang mengatakan
seperti itu maka perlu diwajari saja, karena setiap orang memilki perspektif
sendiri.
“Namun ketika
perempuan terlalu banyak berada di kerumunan maka akan lebih banyak diskriminasi,
dan orang yang beranggapan bahwa untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi yang
pada akhirnya hanya di rumah sebagai ibu rumah tangga, di dapur, kasur dan
sumur saja sekarang hanya ditemukan di wilayah-wilayah tertentu saja” tambah Heri.
“Setiap orang
mempunyai perspektif yang berbeda-beda mengenai kesetaraan gender itu sendiri. Maka
ada feminisme, dimana arti feminis adalah sebuah gerakan yang berusaha untuk memperjuangkan
hak-hak perempuan” Ungkap Syifa.
“Gender itu lebih tentang bagaimana cara pandang masyarakat. Setara belum tentu sama, akan tetapi stigma. Stigma muncul karena belum mengetahui lingkungannya. Sedangkan perjuangan fenimisme yaitu untuk mengetahui dirinya sendiri termasuk hak-hak perempuan. Munculnya gerakan feminisme karena tidak adanya keadilan. Sejarah ini muncul pada masa kolonialisme, masa R.A Kartini sebagai emansipasi perempuan. Terbentuk karena budaya Belanda, sedangkan budaya tercipta karena akal manusia itu sendiri. Secara agama feminisme pada dasarnya adalah bentuk penghormatan terhadap perempuan, karena perempuan adalah mulia. Dalam agama juga adalah anjuran, sedangkan yang dibawa oleh agama adalah akhlak. Dari budaya Arab menjadi sebuah keharusan. Menurut Buya Husein, agama ini adalah agama yang menghormati perempuan dari segi tasawuf” tambah Azam.
Di penghujung diskusi, Iqbal berpendapat bahwa gender itu lebih ke arah perlawanan, perlawanan terhadap stigma. Sedangkan bentuk ketidakadilannya adalah kepintaran. Dimana beranggapan bahwa kepintaran hanya milik laki-laki. Padahal kenyataannya perempuan juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan, sehingga kepintaran bukan hanya milik laki-laki tetapi juga perempuan. Sedangkan munculnya budaya disebabkan oleh cipta, rasa dan karsa. Dimana cipta adalah pemahaman, karsa adalah apa yang diciptakan dan rasa adalah apa yang dirasakan. Maka seorang pegiat yang sehat adalah cara pandangnya yang objektif.
Tak terasa, karena keseruannya dalam berdiskusi, waktu sudah menunjukan pukul 17.00, Heri selaku moderator diskusi memberikan kesimpulan dan dilanjutkan dengan membacakan doa penutup, tak lupa sholawat dialunkan bersama oleh dulur-dulur LPM. Maula Ya Sholli.....
Dokumenter LPM Tanpa Titik |