Dokumenter LPM Tanpa Titik |
Rabu,
17 Februari 2021, sedulur LPM Tanpa Titik melaksanakan diskusi yang diadakan dua pekan sekali.
Cuaca yang mendung dengan dibarengi segelas
teh menghangatkan diskusi kali ini. Acara diawali
dengan membaca Ummul Kitab kemudian dilanjutkan menyayikan lagu Indonesia Raya
Stanza I, Stanza II dan Stanza III. Muqoddimah kali ini yaitu resensi buku berjudul Lingkar Tanah Lingkar Air
yang dibacakan oleh
seluruh peserta diskusi secara berurutan.
Peresensi
memaparkan tentang buku yang berjudul Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad
Tohari yang menceritakan tentang latar belakang pemuda yang bernama Amid yang
berjuang dalam panji Hizbullah untuk bertempur dan membela kemerdekaan Republik
Indonesia melawan Belanda. Amid dan
temannya yang bernama Kiram merupakan santri Kiai Ngumar, mereka diajari silat
oleh Kiai Ngumar. Suatu ketika Kiai Ngumar menyampaikan kepada mereka berdua.
Dalam rapat itu Hadratus Syekh dari Jawa Timur mengeluarkan fatwanya. Beliau
bilang, “Berperang
melawan tentara Belanda untuk mempertahankan negeri sendiri yang baru merdeka,
wajib hukumnya bagi semua orang Islam dan siapa yang mati dalam
peperangan melawan tentara Belanda yang kafir, dialah syahid.” tutur Kiai
Ngumar.
Beberapa
waktu kemudian Amid dan Kiram dipanggil Kiai Ngumar, mereka berdua diperintah
agar bersiap-siap untuk berangkat ke Purwokerto. Setengah bulan usai perang di
Purwokerto, mereka ditugaskan
ke Bumiayu untuk melanjutkan perang di sana.
Namun perang kali ini, Kiram mendapatkan senjata, hal ini menjadikan dirinya
tambah bersemangat
untuk berperang.
Suatu
ketika mereka Amid, Kiram, Jun, Jalal, Kang Suyud meminta restu kepada Kiai
Ngumar. Kiai Ngumar sudah tentu memberimu doa restu. Tetapi tidak hanya
mendoakan, namun
Kiai Ngumar sekaligus juga mengajukan
pertanyaan, apakah tidak lebih baik mereka berdua bergabung dengan tentara
Republik.
Namun, mereka akhirnya memutuskan untuk
berjalan sendiri dalam organisasi Hizbullah. Kang Suyud menjelaskan bahwa
mereka ingin membentuk pasukan sendiri dengan anggota yang semuanya ingin sembahyang. Kang Suyud melihat
banyak tentara tidak melakukannya. Dia tahu dengan jelas, beberapa anak buah
Siswo Wuyung ada dalam barisan tentara Republik. Di mana Siswo Wuyung adalah pendiri
persatuan komunis di wilayah ini sejak 1938.
Pertempuran
di Somalangu Kebumen memakan banyak korban, namun Amid, Kiram, Jun dan Kang
Suyud selamat kemudian mereka pulang ke kampungnya, pada tahun 1949 Belanda
mengakui kedaulatan Indonesia, sehingga tidak lagi memiliki musuh. Sehingga
mereka harus membubarkan Hizbullah atau bergabung dengan Tentara Republik.
Ketika
Kang Suyud berdiskusi dengan Kiai Ngumar, Ia menyatakan bahwa Ia lebih memilih Kartosuwiryo
daripada Bung Karno - Bung Hatta yang kemudian menjadi
keputusan Kang Suyud, sedangkan Amid, Jun, dan Kiram akan bergabung dengan
Tentara Republik. Namun, mereka
diserang di tengah
jalan, sehingga mereka mengurungkan niat, malah mereka bertiga bergabung dengan
kang Suyud. Mereka
merasa dikecewakan
DI/TII, karena mereka menyadari perjuangan dan penderitaan selama
bertahun-tahun hanya dipertaruhkan untuk sesuatu yang kosong.
Dan
akhirnya mereka diminta bergabung dengan Tentara Republik untuk menyerang
pasukan persenjataan Komunis, sebelum nyawanya benar-benar tiada Amid masih
mendengar suara Kiai ngumar yang mengulang-ulang kalimat Tahlil, dan Amid masih
mengingat wejangan kiainya itu “Memerangi
kekuatan yang merusak ketenteraman masyarakat hukumnya wajib.”
Sedikit
mengulas cerita, bahwa Amid memiliki istri yang bernama Umi. Beberapa waktu
kemudian istrinya hamil 6 bulan dan ingin proses persalinannya didampingi oleh
Amid, akhirnya Umi ikut ke Hutan tempat di mana
Amid berperang. Proses bersalin di tengah hutan
tidaklah mudah, apalagi membawa seorang dukun beranak yang bukan dari golongan
mereka (DI/TII). Dukun beranak tersebut masuk ke Hutan dengan cara masuk ke
dalam karung dan digendongnyalah dukun beranak tersebut oleh Amid.
“Apakah
dengan cara yang sama Amid membawa istrinya masuk ke hutan?” tanya Silvi.
Umi
istri Amid masuk ke hutan
dengan aman, karena Umi merupakan istri dari anggota DI/TII.
“Adakah
perbedaan dan keistimewaan ketika ikut Hizbullah, DI/TII dan Tentara Republik?”
sahut Iqbal.
Hizbullah
adalah laskar kesatuan perjuangan semi militer dari kelompok Islam dengan niat
jihad fii sabilillah, berjuang menegakkan agama dan Negara. Di mana mereka berempat bisa bekerjasama
dengan orang-orang yang satu agama dengan mereka. Ketika Hizbullah telah
mengalahkan Belanda mereka akan masuk ke Tentara Republik, namun mereka diserang di tengah jalan dan akhirnya mereka
ikut dengan Kang Suyud untuk masuk ke DI/TII. Namun, sayangnya setelah 10 tahun ikut
DI/TII, laskar tersebut dicap sebagai golongan radikal. Ketika mereka pulang ke
Kampung, mereka bertiga Amid, Kiram dan Jun diajak Tentara Republik melawan
Komunis untuk menjadi petunjuk arah dengan alasan mereka telah lama hidup di
tengah hutan,
sedangkan Kang Suyud telah meninggal dunia karena sakit. Namun, mereka tidak sekadar menjadi petunjuk arah, mereka
dibekali senjata yang membuat mereka merasa masih berguna dan dipercaya serta
mereka mendapat gaji dan jaminan oleh Negara.
Ada
beberapa tambahan yang disampaikan oleh peresensi, bahwa novel tersebut
bertemakan Nasionalisme dan mengupas alur, penokohan dan latar pada novel
tersebut. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air memiliki spirit nasionalisme yang
tinggi, penulis memilih bahasa yang mudah dicerna, dan tidak bertele-tele yang
dapat menimbulkan kebosanan. Nuansa pedesaan juga selalu dimunculkan oleh
penulis, mengantarkan pembaca pada nuasa pedesaan yang asri. Dan tokoh-tokoh yang ada juga saling melengkapi
terhadap peran yang ada, membuat cerita semakin asyik. Alur yang ada pada novel
ini alur campuran, kadang perpindahan masa sekarang ( masa yang dialami tokoh )
dengan masa lampau tidak teratur, timbulnya pembaca menjadi bingung.
“Nilai-nilai
pendidikan karakter apa yang bisa diambil dari novel Lingkar Tanah Lingkar
Air?” tanya Retno.
“Yang
bisa kita pelajari dari novel ini adalah, berjuang tidak harus dengan orang
yang satu warna dengan kita. Kiai Ngumar pun menjelaskan kepada Amid bahwa
Rasulullah SAW pernah bekerjasama dengan non-muslim menjaga keamanan Madinah.” jawab Hanifah sebagai Peresensi
menjelaskan pesan moral sekaligus kesimpulan pada diskusi kali ini.
Penulis
: Silvi
Editor : Salisa