Belajar Untuk Hidup, Hidup Untuk Belajar

 

Belajar Untuk Hidup, Hidup Untuk Belajar

Pict : Walpaperbetter


Arfathan Rafardhan, siswa SMP yang cerdas, ganteng, dan populer di sekolahnya. Orang-orang mengenalnya sebagai sosok lelaki yang sempurna. Namun di sisi lain Arfathan memiliki tingkah yang seperti perempuan, suaranya pun cerewet. Walaupun begitu, banyak para gadis di sekolah yang kagum padanya, karena karakter yang lemah lembut, tidak sombong dan juga humoris.

Arfathan sejak SD sudah menjadi anak yatim, sehingga kurang kasih sayang dari ayahnya. Sosok yang kuat dan selalu patuh kepada ibunya membuat keistimewaan tersendiri bagi orang tuanya. Arfathan anak kedua dari dua bersaudara yang semuanya adalah lelaki.

Di sekolah Arfathan dikenal banyak guru, hampir semua guru mengenalnya. Hidup bersama keluarga yang sederhana, setiap berangkat sekolah maupun pulang sekolah Arfathan selalu menggunakan kendaraan umum.

Kurang empat bulan menjelang ujian nasional, tepatnya kelas tiga SMP. Arfathan diminta ibunya untuk pindah ke pesantren. Arfathan pun menyetujuinya, walaupun berat hati untuk meninggalkan bangku sekolah tersebut padahal tinggal beberapa langkah lagi untuk mendapatkan ijazah, tetapi takdir berkata lain.

Ditemani oleh kakaknya, Arfathan berpamitan kepada bapak dan ibu guru juga teman sekelasnya. Dengan berat hati juga bapak kepala sekolah mengizinkan siswa kesayangannya untuk pindah ke pesantren. Walaupun sudah beberapa kali Arfathan dinasehati supaya mengurungkan niatnya untuk pindah ke pesantren menunggu sampai lulus. Tetapi Arfathan tetap teguh pada pendiriannya untuk menuruti keinginan ibunya.

Hampir semua teman yang mengenalnya merasa kehilangan, termasuk Rara Athira salah satu teman kelas  yang mengaguminya. Bersama Afifah Faiha, Rara menemui Arfathan untuk yang terakhir kalinya sebagai siswa SMPN 1. Mereka pun berbincang-bincang di kantin sekolah karena kakaknya yang sudah pulang terlebih dahulu ke rumah.

“Kenapa tidak menunggu setelah lulus saja sih pindah ke pesantrennya? Padahal tinggal menghitung hari kita akan ujian nasional, menurutku itu waktu yang tidak lama.” ucap Rara.

“Mungkin Arfathan sudah bosan berada di sekolah ini Ra” sahut Afifah.

“Saya tidak bosan berada di sekolah ini, justru sebaliknya saya sangat bersyukur bisa sekolah di sini. Banyak pengalaman begitupun pengetahuan yang saya dapatkan dari sekolah ini. Memiliki teman-teman yang seperti kalian itu merupakan kebahagiaan tersendiri untuk saya”. kata Arfathan.

“Lalu apa alasan kamu meninggalkan sekolah ini dengan begitu cepatnya?” kata Rara.

“Saya tidak memiliki alasan apapun untuk meninggalkan sekolah ini. Namun, satu hal pindah ke pesantren adalah atas perintah ibu, ibu menginginkan saya untuk lebih memperdalam ilmu agama. Akhirnya dengan berat hati Saya pun menyetujuinya. Bagi saya selama itu hal yang benar mengapa tidak disegerakan, perintah ibu ini hal yang baik sehingga tidak pantas ketika saya membantahnya. Saya tidak ingin membuat ibu kecewa, kebahagiaan ibu adalah kebahagiaan saya juga. Mungkin dengan ini saya bisa belajar untuk lebih berbakti kepada orang tua termasuk ibu.”

Seketika Rara dan Afifah terharu mendengarkan ucapan dari Arfathan.

“Saya harap komunikasi dan silaturahim kita tetap terjaga, jangan sombong dan jangan sok gak kenal ketika sudah lulus nanti. Hahaahahah” ucap Arfathan untuk mengembalikan suasana haru menjadi suasana bahagia.

“Saya pun berharap ketika kita bertemu kembali kamu sudah berubah. Heheheh” ucap Rara.

“Iya pasti berubah menjadi lebih ganteng dong” ucap Arfathan sambil tertawa.

“Tingkah laku kamu juga harus berubah!” kata Afifah menertawakan Arfathan.

“Semua harapan kalian akan saya kabulkan” ucap Arfathan dengan nada menyindir.

“Kringggggg.... bel berbunyi menandakan jam pelajaran akan segera dimulai. Semua siswa-siswi kembali ke kelasnya masing-masing.

“Jaga diri kalian baik-baik ya, jangan lupa pesan saya untuk selalu kalian ingat setiap hari. See you next time.” ucap Arfathan sambil berlari menuju ke kelas.

Beberapa tahun kemudian setelah mereka lulus dan sekarang sudah melanjutkan ke perguruan tinggi.  Arfathan memberi kabar kepada Rara melalui chat inbox.

“Rara Athira” ucap Arfathan di dalam isi pesannya.

“Mohon maaf siapa ini?” balas Rara dengan kata penasaran.

“Saya Arfathan Rafardhan teman Rara waktu SMP. Bagaimana kabar Rara?”.

“Ya ampun ku kira siapa ehehehe. Alhamdulillah baik, bagaimana denganmu?”.

“Alhamdulillah baik. Haha nostalgia masa SMP Ra” kata Arfathan dengan senyum-senyum sendiri dengan ponselnya.

“Sekarang lanjut di mana, masih di Pesantren atau kerja?”kata Rara.

“Sudah tidak di pesantren lagi Ra, sekarang memilih untuk kerja”

“Kenapa tidak melanjutkan di Pesantren Arfathan, bosenkah atau ingin cari pengalaman baru?”

“Haha bukan itu sebabnya. Namun, karena ekonomi. Ibu sudah tidak mampu membiayai saya untuk melanjutkan pendidikan di Pesantren sehingga saya memilih untuk bekerja saja. Sebenarnya saya sudah lolos untuk melanjutkan pendidikan di Turkey dengan jalur beasiswa, Universitas di Turkey memberikan biaya pendidikan dan juga biaya hidup” curhat Arfathan.

“Kalau boleh tahu apa alasan ibu mu melarangmu untuk belajar di Turkey?”

“Saya tidak tahu apa alasannya, karena ibu belum pernah memberikan alasan terhadap hal  tersebut” kata Arfathan.

“Lalu bagaimana denganmu?” kata Rara.

“Sekarang saya sudah mulai mengikhlaskannya, bagi saya ridho orang tua adalah yang utama daripada menuruti keinginannya sendiri. Karena ridho Allah terletak pada ridho orang tua.”

Seketika hati Rara tersentuh dengan perkataan Arfathan melalui pesannya tersebut.

“Di sini saya bisa belajar apa itu arti hidup yang sesungguhnya, belajar untuk ikhlas atas semua ketentuan-Nya, karena hidup ini adalah untuk belajar. Tentunya belajar pada hal yang benar, selalu berusaha patuh pada perintah-Nya dan senantiasa menjauhi larangan-Nya. Itu yang sedang saya pelajari sekarang, esok, lusa dan seterusnya Ra.” kata Rafathan melalui pesannya.

“Good Luck Rafathan”

Mereka pun meninggalkan pesan dan kembali pada aktivitasnya masing-masing.

Melalui Arfathan, Rara mendapatkan banyak pelajaran dalam hidup. Bahwa sebenarnya kebahagiaan dalam hidup itu bukan hanya ketika kita berhasil mendapatkan apa yang kita inginkan, akan tetapi belajar dalam hidup adalah ketika kita bisa melihat orang-orang yang kita sayangi termasuk orang tua bisa tersenyum bahagia dengan kehadiran kita, ketika kita tidak selalu membuat mereka kecewa dengan perbuatan ataupun perkataan kita. Selama masih hidup kita dituntut untuk selalu belajar, dengan belajar itu tandanya kita masih hidup.


Penulis : Sri Retno

Editor : Salisa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama