Interpretasi Penpro "Robohnya Surau Kami" Teater Cebong
Dokumentasi LPM Tanpa Titik |
Saya bisa memastikan malam Ahad tanggal 13 November 2021 merupakan momen yang tak terlupakan untuk masyarakat kampus IBN Tegal. Terlebih untuk teman-teman Teater Cebong. Mereka telah sukses menggelar perhelatan Pentas Produksi yang pertama. Dengan tajuk Robohnya Surau Kami karya cerpenis masyhur Ali Akbar Navis.
Diantara
tolak ukur kesuksesannya adalah dihadiri oleh ratusan penonton dari berbagai
lapisan masyarakat. Terlepas dari alasan keinginan penonton untuk hadir. Ini
luar biasa.
Saya
juga yakin teman-teman teater dengan segala jadwal latihan dan kesibukannya
menampilkan Robohnya Surau Kami, merasa
'ada yang hilang' yang bakal menjadi kenangan indah.
Cerpen
Robohnya Surau Kami sendiri terbit pertama kali pada tahun 1956.
Sosio-religi adalah ruh dari cerpen karya A.A. Navis ini. Hal tersebut juga
bisa dilihat dari isi dialog Tuhan dengan Haji Saleh dan dampak realitas
kehidupan Ajo Sidi dan sang Kakek.
Dari
pertunjukan malam itu, kita bisa belajar pentingnya dua ikatan yang harus
selaras. Vertikal kepada Tuhan dan horizontal kepada manusia.
Haji
Saleh (yang diperankan Heri Mulyono) sangat percaya diri dengan amaliyah
ibadah Hablun min Allah nya menjadi sangu di pengadilan akhirat.
Namun, hal tersebut bak melihat air di tengah gurun pasir dengan jarak yang
tidak dekat. Fatamorgana. Tuhan dalam kisah yang diceritakan Ajo Sidi (yang
diperankan Faisal Bakhri) justru memutuskan Haji Saleh masuk neraka. Sebuah
keputusan yang tidak diduga dan tidak logis menurut Haji Saleh.
Tuhan
menyinggung tanah tempat hidup Haji Saleh yang subur makmur namun rakyatnya
melarat. Bahkan juga menyindir sifat egoistis, mementingkan diri sendiri, tak
mempedulikan kesejahteraan keturunan kelak dan sekitarnya. Hanya mementingkan
individual dan mengacuhkan selain dirinya. Seolah mengatakan kamu ini muslim
kapitalis. Muslim yang hidupnya berprinsip bertransaksi dengan Tuhan. Terus mencari laba untuk pribadi.
Padahal hal tersebut bukan yang dikehendaki Tuhan.
Dari
pementasan malam itu, kita juga bisa belajar bahayanya overthinking.
Sang Kakek penjaga surau (yang diperankan oleh Muhammad Hafied Haekal) gelisah
setelah mendengar bualan dari Ajo
Sidi. Hal tersebut membuat
sang Kakek tidak tenang,
memikirkannya dengan isrof. Yang pada akhirnya sang kakek kalah, dan
memilih menjemput ajalnya dengan cara yang mengerikan.
Selain
hal tersebut diatas, dari
penampilan malam itu kita juga bisa belajar kedewasaan berpikir. Kita tahu
kedewasaan tak bisa diukur dengan lamanya seseorang hidup di Bumi. Tua yang
tidak dewasa, istilahnya. Kedewasaan perlu dilatih dengan berbagai 'bumbu'
realita kehidupan dan atau banyaknya literasi. Yang dengannya mampu menumbuhkan
empati dan simpati. Dampak dari orang yang belum dalam 'maqom' ini biasanya
mudah marah, cara pandang subjektif, dan melegalkan kekerasan.
Wah, masih banyak pesan yang disampaikan dari cerpen ini jika kita kaji lebih jauh. Maka dari itu, sangat direkomendasikan untuk ditonton.
Terakhir,
selamat dan sukses untuk teman-teman
Teater Cebong. Semangat baik semoga selalu membersamai. Mimpi katak pasti
terwujud.
Penulis : Luthful Hakim
Tulisanya keren kak
BalasHapusAlhamdulillah, Kak Lutful memang idola
HapusMantuul
BalasHapusMantap betuul
HapusAnjay slebewwwww aww
BalasHapusUwaw
BalasHapus