Pesan Untuk Lu
Pict : Pinterest |
“Kamu
menangis, Lu?”
“Sedikit,
mak. Bukan apa-apa. Aku baik-baik saja kok”.
Ia
mengusap peluh yang hampir menetes dari pelipisnya. Cuaca siang hari ini terasa
cukup terik. Apakah seterik hatinya? Entahlah. Meneteskan air mata, namun
sedikit tersenyum. Atau malah tertawa. Sedikit. Nyaris tak terlihat. Mungkin
sedang menertawakan nasibnya.
Ia
bingung, harus bagaimana memaknai peristiwa ini? Sedih, atau justru senang?
****
"Sudah ada
panggilan kerja, Lu?"
tanya Emak suatu hari sambil melempit baju pesanan tetangga yang telah selesai.
"Belum, mak".
Mendengar jawaban Lu, emak menghela
nafasnya panjang. Mengutuk diri karena tak dapat membela nasib dirinya dan anak-anaknya.
Terutama Lulu, putri sulungnya. Setelah
ikut Kang Tarno -pengusaha
warteg di desanya yang merantau ke Jakarta-, ia diberhentikan dengan alasan
pandemi yang menyebabkan berkurangnya jumlah pelanggan. Banyak karyawan
pabrik terkena PHK. Entah sampai kapan.
Melihat lapangan pekerjaan yang saat ini terbilang sempit, orang - orang
berusaha sehemat mungkin dalam melakukan pengeluran rumah tangga. Salah satunya
dengan memasak sendiri dan
makan apa adanya. Tentu warteg Kang Tarno yang dulunya ramai karena berada di
samping pabrik sepatu, kini terkena imbas menjadi sepi akibat di-PHK nya karyawan pabrik
sebanyak tujuh
puluh lima persen. Lu
dan empat karyawan
warteg lain terpaksa harus dipulangkan.
Lu adalah tulang punggung keluarga
setelah Parman -bapaknya- meninggal dunia. Dahulu ia peternak sapi di Desa
Cepokolimo, sebelum semuanya hangus terbakar. Parman yang saat itu tengah
merebus air dengan panci dan ceret di tungku kayu, kemudian ditinggal mencari
rumput. Api dengan cepat membesar karena di dalam kandang sapi terdapat rumput
dan tebon (pohon jagung sebagai pakan ternak) kering. Kebakaran pertama kali
diketahui oleh Darsinah, pemilik warung
kopi tak jauh dari kandang. Ia kemudian meminta tolong dua warga lain untuk
memadamkan api menggunakan selang
air yang ada di sekitar lokasi. Bagai
menggarami air laut, semuanya sia-sia. Warga kalah telak dengan kecepatan
api membakar kandang. Api dengan cepat berkobar melalap apapun yang berada di
dalam sana. Ada delapan
ekor sapi dalam kandang, tujuh
ekor mati terpanggang dan satu
lainnya berhasil
keluar dari lalapan si jago merah.
Mengetahui hal tersebut, Parman
yang mempunyi riwayat penyakit jantung
langsung terkulai lemas tak sadarkan diri. Menutup mata untuk selamanya. Sejak
itu Lu tahu, kelak saat tamat SMA, ia harus menjadi kepala keluarga baru. Lu
lalu mendaftar menjadi karyawan di warteg Kang Tarno. Desanya terkenal dengan penduduknya
yang banyak menjadi
pengusaha warteg.
Ia adalah satu
diantara puluhan anak muda Cepokolimo yang mengadu nasib menjadi pekerja
warteg. Tak perlu
ijasah atau keahlian khusus lainnya. Hanya saja fisik yang kuat dan kemauan besar
untuk mencari pundi-pundi rupiah, masuk dalam kriteria bagi para calon karyawan. Mulai dari belanja jam dua pagi,
persiapan memasak, buka jam lima pagi sampai jam sebelas malam, bahkan kadang
lebih. Begitu terus rutinitas Lu dan karyawan lain setiap
harinya. Jam tidur bergantian antara karyawan satu dengan yang lain. Karena tak
punya pilihan lain, Lu mampu
mengikuti garis takdirnya dengan upah tiga juta saban bulan, yang
bisa ia kirimkan ke emak dan kedua adiknya. Bersih tanpa uang makan dan tempat tinggal. Karena para
pekerja telah disediakan
kamar khusus satu atap dengan warteg.
Bagaimanapun, pendapatannya sangat membantu
ekonomi keluarga. Untuk kehidupan sehari-hari dan juga biaya sekolah kedua
adiknya yang harus terus membeli pulsa untuk sekolah daring. Belum lagi uang
jajan kedua adiknya di warung Yu Sari yang terus bertambah. Sebab sekolah terus diliburkan, maka
angka kebosanan mereka pun melonjak. Jadilah jajan sebagai pelampiasan
alternatif. Setelah ditinggal Parman, mereka menjual satu sapi yang tersisa
untuk menambal biaya hidup dan bekal Lu ke Jakarta. Emak juga membeli mesin
jahit, menerima satu dua jahitan dari tetangga tiap minggunya. Upah yang
diterima tak seberapa, tapi cukup untuk membayar tagihan listrik tiap bulan.
Meskipun
begitu, Lu tak tinggal diam. Ia terus berusaha mencari lowongan pekerjaan.
Mengirimkan berkas-berkas lamaran ke beberapa pabrik.
“Emak
kenapa nampak gusar seperti itu? Apa terjadi sesuatu, Mak?”
“Kalau
memang belum ada panggilan, lebih baik menikah saja dahulu. Kamu ingat Irfan?
Kakak kelasmu dulu yang suka umpetin sandalmu pas masih mengaji di Ustadz
Sholeh. Kemarin orangtuanya datang kemari, mau melamarkan Irfan untuk kamu”.
Bukan
main, Lu ingat betul wajah Irfan yang selalu menjahili dirinya saat mengaji.
Mereka juga satu sekolah sewaktu SMA. Jantung Lu berpacu cepat saat mendengar,
dia melamarnya?
“Lalu
emak menjawab apa?” tanya Lu.
“Emak
jawab, semua keputusan ada ditangan kamu. Emak juga tidak bisa memaksakan”.
“Tidak
mak, aku belum pengin nikah. Aku masih pengin kerja, bahagiakan emak dan
adik-adik”.
“Lu,
menikah itu bukan karena pengin atau tidak pengin. Usia kamu juga sudah cukup
untuk menikah. Nak Irfan itu, sudah menjadi guru PNS. Gajinya paling
tidak enam juta. Itu pun belum termasuk tunjangan-tunjangan yang lainnya. Kalau
kamu menikah dengannya, dan dia memberikan setengah dari gajinya untukmu saban
bulan, adik-adikmu selamat. Emak juga senang, Lu”.
“Tapi,
mak..” kalimatnya menggantung.
“Kalo
orang dulu bilang, jangan menolak pinangan laki-laki, nanti malah jodohmu
menjauh. Kamu mau jadi prawan tua? Irfan juga tampan, banyak ibu-ibu yang
menginginkan dia buat jadi menantunya lho. Kamu beruntung, Lu. Nak Irfan
memilih kamu. Meskipun emak tidak memaksa, tapi pikirkan baik-baik ya, Lu.”
Mendadak
pikiran Lu berkecamuk tak karuan. Bagaimana bisa ia menikah dalam keadaan
seperti ini. Lu ingat perkataan seorang youtuber idolanya yang ia tonton
kemarin. “Menikah bukan jalan keluar untuk suatu masalah. Menikah hanya akan
membuat tanggungjawabmu bertambah sebagai seorang istri, belum lagi nanti kalau
punya anak. Maka dari itu, menikahlah saat lahir dan batinmu siap.”
Malam
datang menjelang. Rembulan sabit menghias angkasa dengan gemerlapan bintang
yang membentuk ribuan formasi indah. Lu duduk menghadap jendela di kamarnya.
Tangannya memegang secangkir kopi hangat yang seakan meredam kelelahan seharian
ini. Angin malam berhembus lembut. Menelisik anak-anak rambut dan sela-sela
kuping. Senyumnya mengembang entah pada siapa. Sepertinya ia telah menentukan
keputusannya.
****
Beberapa
bulan berlalu. Separuh persiapan untuk pernikahan Lu dan Irfan telah usai. Gaun
pengantin, tukang rias manten, seserahan, sudah dipesan. Undangan tinggal
menunggu dicetak. Terjalin komunikasi hangat antara dua calon mempelai dan
keluarganya. Bayangan mengarungi rumah tangga indah sesekali menyelinap dalam
benak keduanya. Memang benar, jodoh itu misteri. Kita tidak pernah tau dengan
siapa akan berjodoh.
Sampai
pada ketika Darsinah, pemilik warung kopi dekat kandang sapi, menghampiri Lu
dan Emak yang sedang mengangkat jemuran. Ia datang dengan nafas
tersengal-sengal. Macam habis dikejar hantu di siang bolong.
“Ada
apa, yu?” tanya emak seraya menautkan alis.
Darsinah
masih megap-megap mengatur nafasnya.
“Ir...
Irfaan... di rumahnya ramai warga menonton”.
“Menonton?
Menonton apa? Dijelaskan yang benar dong, yu”. Emak menabok lengan
Darsinah pelan. Geregetan dengan omongannya yang setengah-setengah.
“Ada
seorang wanita datang bersama keluarganya. Bapaknya wanita itu ngamuk
membanting kursi teras rumah Irfan”. Dengan raut wajah yang serius, ia
menjelaskan sambil mengangkat tangan, seolah sedang membanting kursi.
“Lho,
kenapa sampai ngamuk begitu?”. Tanya Lu ikut penasaran.
“Wanitanya
hamil, Lu. Dihamili Irfan katanya. Ramai warga menonton penasaran di rumah
Irfan. Ramai sekali”
Nafas
Lu tertahan, mulutnya sedikit menganga tanpa suara. Ia masih mencerna perkataan
Darsinah. Bagaimana bisa? Sedangkan pernikahannya dengan Irfan sudah di depan
mata.
“Bagaimana
ini, Lu?” emak bertanya pada Lu dengan wajah yang sulit diartikan. Antara kaget,
marah, dan juga bingung.
Lu
enggan menghampiri rumah Irfan. Malas ditanya ini itu oleh tetangga, jika
memang benar begitu kenyatannya. Ia menunggu saja klarifikasi dari keluarga
Irfan. Menunggu itikad baik keluarga mereka mengambil jalan tengah yang tak
merugikan siapapun. Lu harap,
Irfan dan keluarganya dapat dengan bijaksana menyikapi kejadian ini. Kejadian memalukan
yang dilakukan anak laki-laki kebanggaannya.
Bukan
main, disaat seperti ini, senyum manisnya malah mengembang. Ia mengingat pesan
yang semalam diterimanya, namun belum ia bicarakan pada emak maupun Irfan.
****
*Dengan
hormat. Berdasarkan surat lamaran yang saudara kirim pada bulan lalu, kami dari
pihak PT. Sumber Pangan Sejahtera menyatakan bahwa saudara lolos tahap seleksi
dan diperkenankan mengikuti training satu minggu kemudian setelah pesan ini
sampai dengan menggunakan pakaian hitam-putih.
Penulis :
Ochi RM