Mengulik Predator Seksual di Ranah Kampus
Rabu,
(14/12) LPM Tanpa Titik mengadakan diskusi rutinan seperti biasanya dengan tema "Mengulik Predator Seksual di Ranah Kampus". Kegiatan dimulai pada pukul 14.00 -
17.00 WIB dengan diawali membacakan surat Al-Fatihah, kemudian pembacaan
muqoddimah secara bergilir oleh seluruh peserta diskusi. Setelah itu
dilanjutkan berdiskusi bersama dengan dipantik oleh Pembina LPM
Tanpa Titik, Zaki Mubarok.
Pelecehan seksual
di lingkungan perguruan tinggi menjadi pusat prosentase yang cukup menuai
banyak perhatian. Terlebih korban adalah mereka yang dekat dengan pelaku.
Bagaimana tidak mencuat kontroversi, lingkungan pendidikan yang selayaknya
menjadi tempat menuntut ilmu dan mendapatkan pengajaran yang aman dan nyaman, kini
bagai tempat pelarian oleh predator nafsu. Tidak dipungkiri banyak nya kasus
pelecehan seksual di kampus membawa dampak yang tidak menyenangkan terlebih
bagi korban. Sebagian mereka enggan melaporkan kasus kepada yang berwenang
karena tersekat oleh ancaman pelaku dan rasa takut yang menghantui akan karir
pendidikannya.
Zaki Mubarok
menuturkan “Pelecehan seksual ini jenisnya banyak. Ada yang terlihat, pun ada
yang tak kasat mata seperti yang mudah kita telusuri lewat gestur, fisik
target, media dan lain sebagainya. Ini menjadi incaran predator seksual yang
memiliki asumsi nafsu yang tinggi dan jika ditinjau dari prosentase 70 % mengalami
pelecehan seksual dan 53 % mereka sebagai korban enggan melaporkan. Menjadi
kekhawatiran tersendiri bagi korban akan karir pendidikannya, seperti kena Drop
out dari kampus dan malu akan nama baik keluarganya.”
Oleh karena itu,
dari banyaknya laporan kasus kekerasan seksual terlebih di lingkungan kampus,
Kemendikbud Ristek Nadiem Makarim mengeluarkan senjata berupa Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual yang diatur dalam Permendikbud Ristek No. 30 tahun
2021 Ini sebagai upaya besar pemerintah agar memberantas kasus pelecehan
seksual yang seharusnya anak bangsa dijaga keharmonisaannya agar menjadi insan
yang mulia dan bertanggung jawab bukan malah melakukan pelecehan. Keluarnya
peraturan ini pun sebagai jawaban kegelisahan dari para orang tua terhadap
anaknya, tenaga pendidikan dan lain sebagainya.
Menilai terbitnya
Permendikbudristek No 30 ini sudah selayaknya disahkan oleh setiap perguruan
tinggi guna meminimalisir bahkan menghilangkan kejahatan seksual terutama di
lingkungan pendidikan. Namun, seperti yang kita ketahui terjadi problematik pro
kontra oleh beberapa pihak berwenang. Dikutip fakta Komnas Perempuan, tercatat
terdapat 51 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi sejak 2015 – 2021.
Kategori kekerasan seksual yang terjadi pun bermacam jenisnya seperti
pemekorasan, pencabulan, dan pelecehan seksual. Dari kasus yang melapor ke
pihak kampus pun terkadang tidak mendapat respon baik sebab kampus yang dirasa
kurang memiliki kebijakan dan perlindungan terhadap anak didiknya ditambah
korban yang takut untuk melapor karena dikekang pelaku dan sebagianya.
“Pelecehan seksual
ini sebenarnya marak sekali terjadi, tapi kadang kita gak sadar kalau
itu bentuk pelecehan seksual. Misal saja yang sering terjadi dalam bentuk non
verbal mengirim pesan kepada mahasiswa berupa emotikon peluk, cium dan
sebagainnya. Ada lagi ketika bimbingan skripsi, sang dosen meminta untuk
melakukan bimbingan di cafe. Dan masih banyak lagi.” Ungkap Asyifa Suryani
Pimpinan Umum LPM
Tanpa Titik Lutful Hakim menambahkan “Sorotan mata yang seakan menggoda pun itu
bagian dari pelecehan seksual, lalu
menepuk bahu dengan lihai sehingga pelaku seakan menikmati.”
Maka dari itu
penting sekali setiap perguruan tinggi merumuskan undang-undang Anti kekerasan
seksual, salah satunya dengan mendukung kinerja Kemendikbud Ristek dalam
mengesahkan Rancangan Undang-undang Pencegahan dan Pengananan Kekerasan Seksual
(RUU PPKS). Lalu seberapa penting sih lembaga atau UU Perlindungan Mahasiswa
itu? Kita tahu kehidupan kampus sama halnya kehidupan negara dimana terdapat
jajaran terstruktrur seperti presiden, gubernur, menteri dan lain sebagainya.
Untuk mengatur ketatanegaraan didalam kampus pun diperlukan lembaga yang
membantu agar para rakyat atau mahasiswanya
mendapatkan hak kenyamanan dan keamanan dalam menerima pengajaran. Namun
peraturan yang sudah dibuat kadang disalahgunakan oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab. Tak dipungkiri maraknya kekerasan dilingkungan kampus tidak
dapat dicegah karena tidak berlakunya lembaga perlindungan mahasiswa.
Diaktifkannya Satuan Gabungan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) diranah kampus merupakan salah satu jalur Alternatif agar bersama-sama menjaga dan memberantas kasus pelecehan seksual.
Sudah seharusnya
kita sebagai akademisi mulai bergerak dan peka terhadap apa yang ada disekitar,
salah satunya kasus merambahnya pelecehan seksual. STOP! Pelecehan Seksual. PS
ini bukan Ikan Lele, Jadi jangan dibudidayakan!
Penulis
: Rista Lutviana