Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Yang Mati Dalam Kesunyian

Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Yang Mati Dalam Kesunyian


Dokumentasi LPM Tanpa Titik

 

Diskusi rutinan Lembaga Pers Mahasiswa Tanpa Titik telah terlaksana pada hari Rabu, 29 Desember 2021 dengan mengangkat tema "Diskusi Tokoh Tirto Adhi Soerjo" yang dipantik oleh dulur tua M. Iqbal Alfariky. Kegiatan dimulai pada pukul 14.00-17.00 WIB dengan diawali membacakan surat Al-Fatihah untuk kelancaran diskusi dan dilanjutkan menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza yang dipimpin oleh dulur IinKemudian pembacaan muqoddimah berupa biografi singkat tokoh Tirto Adhi Soerjo secara bergilir oleh semua peserta diskusi.  Lalu sebenarnya, siapakah Tirto itu? Yuk simak selengkapnya.

Djokomono dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, pada tahun 1880, dengan menyandang gelar raden mas. Setelah beranjak dewasa, putra Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero ini lebih dikenal dengan nama Tirto Adhi Soerjo. Gelar raden mas menandakan bahwa Djokomono adalah putra atau cucu bupati dan masih terhitung keturunan raja-raja di Jawa. Kakeknya, R.M.T. Tirtonoto, menjabat Bupati Bojonegoro dan penerima Ridder Nederlandsche Leeuw, bintang tertinggi sipil dari Kerajaan Belanda. Sedangkan dari pihak nenek, ia mewarisi darah Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa dari Surakarta.

Setelah menuntaskan pendidikan dasar di Rembang, Djokomono alias Tirto Adhi Soerjo merantau ke Betawi untuk melanjutkan sekolah di Hogere Burger School (HBS). Lulus HBS, ia diterima di sekolah dokter bumiputra, yakni School tot Opleiding van Inlandsche Artshen (STOVIA), di Batavia.

Pada diskusi kali ini, kami fokus membahas sepak terjang Tirto Adhi Soerjo sebagai sang pemula pers bumiputra.

Dulur Iqbal menjelaskan, bahwa bumiputra terdiri atas dua kata, yaitu bumi dan putra yang mempunyai arti anak tanah. Atau istilah yang lebih sering dipakai yaitu pribumi.

“Ketika membaca literatur tentang Tirto, pasti akan tidak asing dengan kata “bumiputra”. Kenapa? Karena bagi orang indo, kita akan lebih terhormat jika menggunakan bumiputra dibanding pribumi”, tuturnya.

Tirto mulai menulis sejak awal masuk STOVIA dengan mengirimkan tulisan ke berbagai surat kabar terkemuka saat itu, seperti Bintang Betawi, Chabar Hindia Olanda, Pewarta Priangan, Bromartani, Oranje Nassau juga Pembrita Betawi. Ia juga menjadi redaktur tetap Pembrita Betawi (Batavia), lalu menjadi pemimpin redaksi.

Selain itu, ia belajar jurnalistik kepada Karel Wijbrands, pemimpin redaksi Nieuws Van Den Dag. Pramoedya Ananta Toer dalam Sang Pemula (2003) mengungkapkan hubungan ini amat intensif walaupun hanya berlangsung beberapa bulan. Tirto mengambil banyak pelajaran dan pengetahuan dari Wijbrands.

Wijbrands, papar Pramoedya, juga mengajarkan Tirto tentang harga diri menurut standar Eropa dan teknik menghantam aparat kolonial; bukan pemerintah yang diserang, tapi aparatnya lantaran hasilnya sama saja (hlm. 46).

Tanggal 7 Februari 1903, meluncurlah Soenda Berita yang menjadi tonggak sejarah pers nasional. Soenda Berita adalah koran pertama Indonesia yang dimodali dan diisi tenaga-tenaga bumiputra sendiri, tak lagi menjadi bawahan bangsa lain.

Tirto kemudian meluncurkan Medan Prijaji yang terbit perdana pada 1 Januari 1907. Selain sebagai penggagas, Tirto juga bertindak selaku editor sekaligus administrator mingguan.

Kali ini tak main-main. Medan Prijaji menjadikan Tirto sebagai orang Indonesia pertama yang menyuluh rasa kesadaran berbangsa bumiputra melalui kuasa media. Dalam konteks ini, ia memperkenalkan apa yang sekarang disebut sebagai jurnalisme advokasi. Tak jarang, Tirto membela kaum tertindas lewat surat kabarnya.

Pada tahun 1908, ia juga menerbitkan surat kabar khusus perempuan, Poetri Hindia.

1909-1913, ia mengelola surat kabar Sri Pasoendan, Pantjaran Warta, Militair Djawa, Sarotomo, De Maleische Pers, Pewarta S.S. Soeara B.O.W., dan Soeara Pegadaian serta menjabat sebagai editor.

Dari pemaparan tersebut diatas, kemudian muncul beberapa pertanyaan dari peserta diskusi. Dulur Lutful salah satunya. Ia bertanya antara Tirto dan Pramoedya apakah pernah bertemu? Dan bagaimana proses Pramoedya dalam mengenal Tirto?

Dokumentasi LPM Tanpa Titik


Menanggapi pertanyaan dari dulur Lutful, dulur Iqbal pun menjelaskan, bahwa Tirto dan Pramoedya tidak pernah bertemu. Keduanya mempunyai selisih sepuluh tahun, dimana Tirto wafat pada tahun 1918, dan Pramoedya dilahirkan pada tahun 1928. Proses pengenalannya berawal ketika Pram menjadi pengajar di jurusan sejarah, Universitas Res Publica, pada tahun 1962. Ia menemukan koran Medan Prijaji dan kemudian menemukan sebuah nama yang nyaris dilupakan : Tirto Adhi Soerjo. Berangkat dari kemirisan. Tokoh yang sangat luar biasa bagi Pram, tidak memiliki ensiklopedia, maupun dokumentasi resmi lainnya.

Hal tersebut juga disebabkan karena minimnya jejak-jejak yang ditinggalkan oleh Tirto. Kita pun tidak bisa menemukan titik utama, karena Tirto hanya menulis berita, dan kritik, tidak ada karya-karyanya yang dibukukan.

“Lalu aliran pemikiran apa yang dianut oleh Tirto?” tanya dulur Vikar.

“Tirto mempunyai pola pikir atau idealisme pemahaman sosialis. Karena ia jauh memilih untuk hidup menjadi kaum bawah. Tirto pernah mengulik hukum Islam. Ia seringkali mengkritik masalah hukum netherland dan membandingkannya dengan hukum Islam. Sama seperti para tokoh marxis ataupun sosialis, meskipun mereka banyak yang tidak beragama, tetapi seringkali mengaitkan pemahaman dengan pemahaman Islam.” Ucap dulur Iqbal.

Dulur ochi juga bertanya, apakah pelabelan pada Tirto sebagai Bapak Pers Indonesia hanya disematkan oleh Pramoedya? Atau atas kesepakatan jurnalis se-Indonesia?

Kemudian dulur Iqbal menjawab, bahwa gelar itu wujud atau sebutan untuk pahlawan. Ketika digelari sebagai pahlawan, tentunya ada kesepakatan juga dengan pemerintah. Mungkin yang pertama kali menyuarakan itu Pram, tapi kemudian disepakati oleh pemerintah Indonesia.

“Kenapa pribumi lebih dikenal dengan bumiputra? Tidak bumiputri?” tanya dulur Ilwan.

“Secara bahasa, ketika penyebutan suatu pemuda atau golongan muda, itu pasti yang disebut hanya putra. Contohnya ‘Putra bangsa’, padahal notabene di dalamnya juga ada putri. Apalagi pada saat itu, emansipasi wanita belum terangkat.” Jelas dulur Iqbal.

Tirto terjerat perkara delik pers dan diajukan ke meja hijau. Pada penghujung 1912, ia diputuskan harus menjalani hukuman pengasingan di Maluku. Sepulang dari pembuangan dan kembali ke Batavia, pengaruhnya sudah melemah, harta dan asetnya ludes disita negara, teman-temannya pun beranjak menjauh.

Depresi akut menjangkiti Tirto di tahun-tahun pamungkasnya. Hingga akhirnya, pada 7 Desember 1918, Tirto Adhi Soerjo, sang pemula pers bumiputera yang telah berjuang mati-matian demi menyadarkan bangsanya itu, mengembuskan napas penghabisan. Tirto juga kerap disebut sebagai “Bapak pers yang mati dalam kesunyian”.

Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Sebelum ditutup, dulur Shieva, sebagai moderator menarik kesimpulan atas apa yang telah disampaikan oleh seluruh peserta diskusi. Dan diskusi diakhiri dengan pembacaan sholawat Maulaa ya shollii wa salim...

 

Saya ingin menjadi manusia bebas, tidak diperintah dan juga tidak memerintah.

-Tirto Adi Soerjo

 

Penulis : Rosiana

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama