Batu dan Payung yang Digenggamnya
Bising suara angin menggosok setiap lembaran daun yang berterbangan. Mengirimkannya untaian bait kata tak tersampaikan. Musim yang terkadang sulit dipahami, membawa seorang gadis bernama Mentari yang harus rela menggerakan kakinya dengan cepat, menuju sebuah gubuk dengan juntaian jerami alam menghiasinya, menghindar dari setiap bulir air langit yang jatuh ke bumi.
Tangan yang sedari tadi
menjadi pelindungnya, ia turunkan. Bulir air yang berjatuhan membawa harum
tanah khasnya. Bibir mengatup
erat, baju berwarna hitamnya tertembus oleh air hujan. Di gosoknya kedua tangan
yang hampir mengeriput, hingga sedikit meredakan hawa dingin yang semakin
meradang.
Nyatanya Mentari tidak
sendirian, mata yang sedikit terhalangi oleh kabut putih itu menoleh pada sosok
laki-laki dengan dengan payung biru ditangannya. Tangan yang menari seakan
memainkan sebuah insturmen itu membuatnya tertarik, hawa misterius seakan mengelilinginya.
“Halo.” Rasa penasaran
memang terkadang membuat seseorang nekat. Mentari dengan sengaja mendekat
sedikit, tapi tetap saja, ada jarak diantara mereka.
Laki-laki berbaju senada
dengan payung di gengamannya
itu, seketika menoleh kepada Mentari. Topi hitam membuat wajahnya tersamarkan
dibalik bayang-bayang. Ia hanya diam menatap Mentari lalu kembali menghadap
pada rintik air yang mulai turun dengan ramai.
“Yah kacang,” monolog
Mentari sendiri.
Awan semakin mendung,
berubah dengan warna gelapnya, suara hujan menjadi pengisi keterdiaman dua
orang yang tak saling mengenal
itu.
Entah berapa lama mereka
disana, Mentari yang hanya terus diam sambil memanikan kakinya, enggan membuka
kembali suara. Mata cokelatnya sesekali mencuri pandang pada payung yang
digengam erat laki-laki disampingnya itu, ia juga baru menyadari ada batu kecil
yang sedari tadi laki-laki
itu mainkan.
Tak lama rintik air langit
mulai menipis, harum khas mulai tercium tajam. Perlahan kegelapan meredup,
meninggalkan jejak-jejaknya. Dering
ponsel milik Mentari berdering nyaring, membuat sedikit keterkejutan di
antara kesunyian.
Mentari mengambilnya dari
tas selempang berwarna merahnya, gadis itu mengangkat panggilan yang ternyata
berasal dari orang terkasihnya.
“Assalamualaikum?”.
“Waalaikumussalam. Kamu
ngilang kemana? Kenapa belum sampai penginapan?”. Mentari mendengus dengan samar.
“Kesasar Mi, ngga tau
harus pulang lewat mana. Ini aja lagi neduh di gubuk karena hujan,” jawab
Mentari sedikit kesal.
“Makanya jangan sok tau,
kan sudah tak bilangin
jangan jauh-jauh. Kamu main sampai mana?” suara disana menyaut kembali.
“Kawah,”
“Astagfirullah, udah tau
mendung pakai acara kesana segala. Tau rasa ngga bisa pulang!”
“Mimi ih…” Mentari merengek,
ia memang sedikit menyesal termakan oleh egonya yang menginginkan berjelajah
seorang diri tanpa ditemani. Alhasil inilah yang terjadi, sebenarnya Mentari
tadi sudah sampai ditempat yang ia tuju, seharusnya dalam beberapa menit lagi
ia sudah bisa menyaksikan keindahan Tuhan
berupa kawah putih nan cantik. Tapi
apalah daya. Cuaca yang tidak bisa di prediksi menghalanginya melihat
pemandagan yang menajubkan.
Mentari terus
mendengarkan perkataan ibunya yang sedari tadi menasehatinya. Beberapa menit
kemudian, panggilan dimatikan. Hembusan nafasnya ia keraskan saat mengingat
perkataan ibunya, yang memutuskan akan menjemput dirinya sebentar lagi. Dalam
benak Mentari sudah terbayang wajah khawatir sang ibu beserta keluarganya.
Ia mengacaukan liburan
keluarganya.
Tersentak sesat, Mentari
baru terdasar bahwa ia tidak sendirian. Mentari perlahan menoleh, nyatanya
disana masih ada sosok laki-laki dengan payung dan batu di gengamannya.
“Hujannya sudah mulai
reda, tidak mau pulang?” tanyanya saat laki-laki itu hanya diam, padahal awan
hitam sudah menghilang dan berganti menjadi awan putih yang sedikit menghalangi
mata.
Laki-laki itu menoleh, “Langit
masih mendung,” jawabnya singkat. Wajahnya masih tersamarkan oleh benda bundar
dikepalanya.
Jawaban itu membuat
Mentari kebingungan.
“Ditanganmu ada payung,
kenapa tidak digunakan? Apa hanya menjadi pajangan saja?”. ‘Aneh’, batinnya menambahkan.
Hening sesaat sampai
laki-laki tersebut kembali menjawab,
“Aku menggunakannya saat
aku ingin saja.”
Baiklah, Mentari menatap
sosok disampingnya dengan perasaan sulit untuk dijelaskan.
“Apa kamu menyukai air
langit yang jatuh?” lelaki dengan wajah bayang-bayang itu bertanya padanya.
Gelengan menjadi jawaban Mentari,
“Aku lebih suka awan biru dan matahari yang menawan.”
“Mengapa?”
“Hmm… mungkin ada
kaitannya dengan namaku.” Pikir Mentari.
Laki-laki itu terseyum
tipis, “Hujan adalah peristiwa yang menajubkan, disini kamu bisa melihat hujan
yang begitu cantik sebagai pembukaan, dan awan putih sebagai penutupnya.”
Mentari menghadap ke depan, disana bisa ia lihat pemandangan yang penuh dengan awan putih menyelimuti objek pemandangan yang begitu indah.
“Hujan terkadang menjadi pengingat luka seseorang bukan? Mereka yang menyukai hujan cenderung sedang sedih atau bahkan orang yang suka menyendiri.”
“Pemahaman dari mana
itu?” laki-laki berwajah bayang-bayang itu menatap Mentari penuh tanya.
“Dari ku sendiri.” Tawa
renyah terdengar di gubuk jerami, laki-laki itu menggelengkan kepalanya lalu
kembali menatap kedepan.
Kabut kian memencar,
seakan memeluk pandangan dua orang yang berada di gubuk jerami itu. Mentari
kembali memainkan sepatu putih yang sekarang terhiasi oleh percikan tanah.
“Batu itu kenapa terus
kamu genggam?” Mentari bertanya kembali,
rupanya ia masih penasaran akan dua benda yang terus menempel pada laki-laki
berwajah bayang-bayang di sampingnya.
Perkataan Mentari membuat
si objek yang ditanya semakin
menggenggam erat pada batu dikepalan
tangan besarnya.
“Agar tidak jatuh dan
melukai payungku,” jawab lelaki itu.
Mentari semakin tidak
paham, “Batu bulat sekecil itu mana bisa melukai payungmu.”
“Kamu salah, ia pernah
membuat payungku terluka, hingga payungku tidak bisa menajalankan fungsinya
seperti semula,”
“Apa aku boleh melihat batu di gengamanmu
itu?” laki-laki berwajah bayang-bayang itu awalnya sedikit ragu, tetapi tak
lama ia membuka kepalan tangan yang berisi batu kecil yang sedari tadi ia
genggam.
Mentari menerima batu
tersebut. Ia menatap batu bulat kecil yang permukan luarnya sangat halus,
memang tidak ada yang istimewa. Itu hanya batu biasa. Tetapi, semakin Mentari menelusurinya,
semakin ia dibuat penasaran.
Nyatanya batu yang ia
sangka bulat
itu tidak lah bulat sempurna, disana Mentari bisa melihat bahkan merasakan,
lengkungan yang ada pada batu kecil itu.
Lelaki itu memandang
Mentari dan kembali mengulas senyum.
“Kamu hanya melihat
tampilan depannya yang bulat, sampai tidak tau bahwa ada sisi yang lengkung,”
katanya pada Mentari.
Mentari menatapnya, “Tapi
ini tetap batu biasa.”
“Itu adalah batu yang
membuat payungku terluka, itu bukan batu biasa. Batu itu memiliki cerita
sendiri.”
“Benarkah?”
Laki-laki itu mengangguk
pelan, “Aku pernah terluka olehnya, batu itu membuatku tidak bisa merasakan
indahnya dunia.”
Mentari terkesiap, dari perkataan laki-laki itu membuatnya
terkejut. ‘tidak bisa merasakan indahnya dunia? bukankah itu artinya lelaki
disampingnya…’
Seulas senyum terbit di
sela bibir laki-laki itu, “Aku masih bisa melihatmu, tenang saja. Tapi
kebanyakan warna hitam mendominasi.” Topi yang sedari tadi mengutup wajahnya ia
lepaskan, mata Awan
itu menatap Mentari dengan teduh.
Mentari terpaku sesaat, ia menatap wajah itu. Menelusuri dua
mata tajam yang benar adanya tampak memudar warna salah satu manik mata tajam
itu.
“Maaf,” ucap Mentari. Ia
tak tau bahwa mungkin saja ucapanya menyinggung laki-laki itu.
“Tak apa. Terkadang
memang kita hanya melihat sekilas orang melalui rupanya, hingga tidak tau bahwa
banyak sisi lain yang mereka tidak ketahui. Bahkan batu yang sekecil itu mampu merubah
kehidupan warna seseorang.”
“Apa sulit untuk
menerimannya?” tanya Mentari.
“Diawalan memang sulit,
hidupku berubah sangat drastis. Kehancuran memang terjadi pada hidupku, tetapi
lama kelamaan damai hinggap dihati ini. Bahkan batu yang membuatku terluka, aku
gengam bersama payung favoritku,” jawab lelaki itu dengan senyuman.
“Aku bisa melihat dunia
dengan caraku, bahkan sekarang aku lebih peka terhadap hujan. Aku menyukai
setiap tetes yang Tuhan
hadiahkan, menyukai setiap hembusan angin yang datang bersama rintiknya. Aku
menyukainya meski aku tak bisa melihat kilau beningnya,” lanjutnya kembali.
Mentari tersenyum, ia tak
menyangka bahwa perjalanan kali ini membuatnya bertemu dengan sosok laki-laki berwajah
bayang-bayang yang menggenggam erat payung dan batu. Padahal salah satu benda
itu menjadi penyebab luka yang mungkin tak pernah pulih.
Langit mulai kembali
tenang, Kabut yang semula pekat mulai tersisih oleh udara yang menggiringnya. Bunyi
suara mobil mengalihkan perhatian mereka berdua.
Mentari tersenyum, ia
sangat mengenali mobil itu. Itu adalah mobil milik keluarganya. Memutar
badannya kesamping, Mentari menatap laki-laki itu. Senyum masih berada pada
wajah ayunya.
“Jemputanku datang,
terimakasih sudah menemaniku. Setidaknya aku tidak sendirian.”
Laki-laki itu hanya
tersenyum tipis.
Mentari mengucapkan salam
perpisahan, lalu berjalan menuju mobil keluarganya. Tetapi, langkahnya
terhenti. Ia berbalik badan, menatap laki-laki berwajah bayang-bayang yang
masih berada di gubuk jerami itu.
“Namamu siapa?” tanyanya.
“Awan.” Laki-laki itu
menjawabnya dengan singkat.
Mentari menganggukan
kepalanya, ‘Awan’ nama laki-laki itu akan tertulis diingatnya, ia akan selalu
mengingat laki-laki berwajah bayang-bayang dengan batu dan payung ditangannya.
Penulis : Ran