Kampus Gagap Tanggap Persoalan
Alih-alih
persoalan kampus terus bertumpukan, beberapa mahasiswa merespon untuk menyikapi
keganjalan yang ada. Di antara keganjalanya adalah kegagalan pengelolaan sarana
prasarana yang sebenarnya memiliki dampak terhadap progresifitas maha siswa itu
sendiri. Tragedi fasilitas kampus seperti bocornya talang di FKUP, tidak adanya
WIFI di prodi HKI, tidak adanya bak
sampah dan penetapan prodi BKI menjadi bentuk
kongkret adanya kegagapan terkaiit persoalan kampus dalam pengelolanya.
Mahasiswa sering kali suaranya tidak
didengar oleh kampus, padahal sangat masyhur kisahnya yang menjadi agent of
change secara sederhana. Jika kampus benar-benar berpihak kepada perubahan
dengan prinsip pendidikanya Tri Dharma maka suara mahasiswa adalah
bagian dari upaya dari proses perubahan yang diharapkan oleh semua pihak, bukan
hanya beberapa lembaga semata.
Kampus yang merupakan ruang belajar agar mencetak kepribadian
yang merdeka tidak lagi menjalankan fungsinya, dalam undang-undang republik
Indonesia nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikaan. Menimbang, “Bahwa Pendidikan
tinggi sebagai bagian dari system Pendidikan nasional memiliki peran strategis
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan teknologi dengan
memperhatikan dan menerapkan nilai humanior serta pembudayaan dan pemberdayaan
bangsa indonesia yang berkelanjutan.” Meninjau dari hal ini, sangat disayangkan
jika kampus yang kita sayangi hanya menjadi Gedung yang membunuh karakter dari
peran Pendidikan karena tidak
memenuhi kebutuhan maha siswa salah satunya sarana pra sarana yang menjadi
aspek penting dalam menjalankan misi pendidikan.
Sebenarnya banyak hal lagi,
keterlambatan dosen, kontrak belajar yang sepihak dan minimnya ruang dialegtis
antara dosen dan mahasiswa beserta transparansi dana yang tidak dipaparkan kepada maha siswa terkait
perputaranya, efeknya kesenjangan maha siswa dengan
orientasi pendidikan
sangatlah pekat. Nilai kritis
maha siswa tidak lagi menjadi agent of
change karena tidak adanya keterbukaan pihak yang berpengaruh untuk
menginisiasi permasalahan kampus secara menyeluruh dan melakukan tindakan tegas
sesuai kebijakan yang ada.
Dari apa yang terjadi di
kampus, kesadaran mahasiswa selama ini seperti ditidurkan secara aktif dan
tidak dilibatkan dalam memproyeksikan wacana kampus sebagai wadah pendidikan,
dimana pendidikan adalah upaya membebaskan manusia dari belenggu kebodoihan dan
memerdekakan setiap individu dari perbudakan kepentingan jabatan dan materil
saja. Wajar, apabila mahasiswa mengalami jarak pengetahuan dan realitas kampus
yang ada, karena kampus tidak mencerminkan apa yang ada pada perkembangan
pendidikan dan tidak selaras dengan wacana yang disinggung selama ini.
Al hasil mahasiswa hanya menjadi alat untuk kepentingan
kampus yang bersifat materil saja tanpa adaya kesadaran bahwa salah satu
mewujudkan pendidikan yang murni adalah adanya keterhubungan antara siswa, guru
dan pihak yang berkewajiban mengelolanya baik secara struktural maupun
kulturan. Walaupun tidak menutup kemungkinan, penyebab terhambatnya orientasi
pendidikan salah satunya lahir karena maha siswa yang sudah terjebak penyakit hedonisme dan sindrom eksistensi dalam
organisasinya masing-masing.
Penuntutan mahasiswa tidak akan ada jika realitas kampus
sesuai dengan wacana dan orientasi kampus secara utuh. Sebagaimana hukum dasar adanya
akibat karena sebab, maka konsolidasi kemarin hari selasa (4/10) menjadi
jembatan yang terbentuk karena kelelahan mahasiswa yang bersuara secara
individu. Dari konsolidasi tersebut, mahasiswa telah siap terlibat secara sadar
terkait persoalan kampus.
Penulis : Mahasiswa IBN