Kampus Merdeka Semua di Atur Mereka
Apa yang terbesit saat kalian mendengar kata kampus? Ya, kampus merupakan pembentuk kalangan intelektual yang menjadi harapan bangsa di masa depan. Agar terbentuknya negara yang maju maka diperlukannya lembaga pendidikan yang berkualitas demi terciptanya sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten. Dalam hal ini kampus sangat diperhitungkan tujuan tersebut. Namun, bagaimana kampus mampu menciptakan SDM yang berkompeten dan berkualitas jika sarana dan prasarana kampus masih kurang memadai?
Sarana dan prasarana kampus merupakan hal yang dapat menunjang kelangsungan kegiatan perkuliahan. Kenyamanan mahasiswa dan dosen dalam mengikuti perkuliahan juga didasari fasilitas yang memadai dan layak guna. Dengan kurangnya sarana dan prasarana yang baik maka kenyamanan akan sulit terjaga. Apalagi jika kita berkaca pada kampus kita yang katanya berbasis islam. IAIBN.
Tentunya, keindahan dan keasrian lingkungan kampus merupakan salah satu komponen yang sudah semestinya menjadi prioritas. Namun, pada realitanya tidak demikian.
Sudah 35 tahun Kampus IAIBN berdiri, namun sarana dan prasarananya belum ada peningkatan yang signifikan. Banyak mahasiswa yang mengeluhkan seperti
• Ruang kelas yang tidak nyaman, sirkulasi udara kurang, karena banyak ruang kelas yang kipas anginya mati.sementara pembagian kelas dan jumlah mahasiswa tidak pas.Jadi di dalam kelas sesak karena kuranya ventilasi.
• Sarana kamar mandi yang tidak layak, seperti pintu kamar mandi yang rusak, kotor, dll. Itu sangat mengganggu kenyamanan mahasiswa, terutama untuk kaum wanita.
• Kemudian, di teras-teras kampus juga kerap kali banjir saat hujan, karena talang genteng yang rusak, dan tidak jelas pembuangan airnya kemana.
• Tidak adanya ketersediaan pengelolaan sampah, itu yang sangat kami sesalkan. Karena Masalah sampah di Indonesia sangat kompleks, kondisi ini sebagai imbas prilaku masyarakat yang tidak sportif dalam membuang sampah. Insportifitas tersebut juga terjadi dalam lingkungan kampus, terbawa oleh civitas akademika sehingga lingkungan kampuspun tidak luput dari masalah sampah. Himbauan dan sosialisasi termasuk ketersediaan sarana dan prasarana penunjang yang belum terstandar, belum berhasil merubah prilaku civitas akademika untuk sportif membuang sampah dilingkungan kampus. Dan tidak tersedianya instrumen yuridis sistem pengelolaan dan penanggulangan sampah di lingkungan kampus dan tidak tersedianya sarana dan prasarana penunjang yang sesuai standar Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang standar syarat kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri.
Ditambah lagi, perial sampah ini sudah beberapa kami ajukan tuntutan. Namun masih NIHIL.
Jika kondisi seperti ini terus terjadi, dan tak ada kritik dan saran dari mahasiswa terkait saling ketidak pahaman antar pembuat kebijakan maka pihak yang menjadi pelaku kebijakan yaitu mahasiswa akan terus mengalami kebingungan. Sedangkan pihak pembuat kebijakan akan terus seperti itu karena tak ada kritik dan saran sebagai bahan evaluasi dari pelaku kebijakan.
Saya sepakat bahwa dosen juga manusia, begitu pula mahasiswa. Keduanya memang manusia yang tak pernah lepas dari kesalahan, karena itulah salah satu alasan yang efektif sebagai perisai ketika melakukan kesalahan. Oleh karena itulah kita butuh kritik dan saran, sebagai dasar pemikiran untuk memperbaiki kesalahan masing-masing. Semoga opini saya ini dapat melunakkan pihak-pihak yang memiliki sikap anti kritik. Perlu diingat lagi, banyak dalam sejarah menyatakan bahwa perubahan yang terjadi dimulai dari pemikiran para pemuda (contohnya, lahirnya sumpah pemuda), khusunya mahasiswa. Oleh karena itu suara mahasiswa juga perlu dijadikan pertimbangan. Hal tersebut dilakukan agar mahasiswa tidak menganggap birokrat kampus bersikap otoriter dalam menjalankan tugasnya. Sehingga dapat menghindari perpecahan atara penyusun dan pelaksana kebijakan. Jika keduanya itu pecah maka kebijakan yang disusunpun akan sia-sia.
Terimakasih,
Salam lestari, salam mahasiswa
Penulis : Yayi