Jelang Tahun Baru, Rektor Baru, dan Kekecewaan yang Baru
Jika kampus adalah miniatur
negara, maka pemilihan rektor merupakan bentuk demokrasi kecil dalam kampus.
Jika institusi adalah rumah, maka mahasiswa juga bagian dari rumah tersebut.
Jika mahasiswa adalah anak, maka mahasiswa layak punya orang tua.
Penghujung tahun 2022, kami sebagai mahasiswa tidak buta pun tidak tuli. Walaupun kami tahu hanya dengan melihat lalu membaca kata demi kata pada baliho kecil, dan terdapat penulisan yang masih saja typo terpampang di halaman depan kampus, atau flayer yang disebar dengan desain yang sedemikian sederhananya.
Begitulah, tetapi kami masih sadar di bulan Desember ini ramai juga indah, karena
ajang demokrasi sudah tertampak, pemilihan rektor sudah digaungkan. Kami tahu,
tahun baru rektor baru. Kami tidak lalai untuk memberi pengawalan, sebab kami
yakin seorang rektor bukan hanya jabatan saja, bahkan rektor hanya jabatan atau
gelar tambahan. Tetapi, komponen utamanya adalah pelaksanaan Tri Dharma
Perguruan Tinggi, dan laku sosial dalam berkehidupan bernegara. Ya, negera
kampus, tepatnya adalah kampus IBN.
Kami tidak bisa memilih dan kami faham tentang aturan itu. Tapi kami hanya ingin
menitipkan suara, keluh kesah kami, dan harapan kami bisa didengar oleh pihak
rektorat baik yang masih berjalan, atau mereka yang akan memimpin kedepan.
Seberjalannya waktu, kami melipur emosional kami dengan banyak berfikir secara logis,
secara adil, secara tidak apatis apalagi anarkis.
Tepat satu minggu sebelum tahapan pemaparan visi misi calon rektor, kami dari elemen mahasiswa mengajukan proposal dan pemberitahuan untuk megadakan agenda Public Hearing (dengar pendapat), dengan tema netrademokrasi ; menyeimbangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Karna kami sadar, demokrasi adalah suatu hal yang penting, dan di kampus yang sering dijuluki kampus tercinta ini kesadaran demokrasi masih sangatlah minim.
Kami merancang agenda
dengan sedemikian rupa, membawa tema dan tajuk dengan sehalus mungkin,
memberitahukan dengan niat yang baik, berproses dengan spirit untuk berkembang
demi mewujudkan institusi yang memahasiswakan mahasiswanya. Namun naas, kabar
buruk kami terima tepat setelah dhuhur, tanggal 29 Desember 2022. Siang hari mendung
namun tidak hujan, mewakili porak poranda perasaan yang penuh kekecewaan.
Di hari sebelumya, kami sudah menghubungi panitia pemilihan rektor, lalu mendatangi WAREK III selaku kemahasiswaan untuk penandatanganan proposal kegiatan. Kami sudah sedikit tersenyum, karena sudah mendapat tandatangan WAREK III dan acc untuk lebih lanjut, kemudian kami maju ke kesekretariatan untuk pengajuan dana.
Point yang pertama kami terima, kami dibantah soal anggaran, karena tidak termasuk ke dalam RAB. Tapi, dari kami sudah menyepakati untuk pemotongan dana RAB yang sudah ditetapkan. Bahkan, jika tidak dicairkan, kami berani untuk mendanai sendiri. Di keesokan harinya beberapa teman kami dipanggil, lalu secara mentah agenda yang kami ajukan dengan alur yang sudah ditetapkan ditolak. Proposal dan pemberitahuan dikembalikan. Mungkin, kami akan siap menerima penolakan jikalau alasan yang mereka beri bisa kami terima.
Alasan
ditolaknya kurang lebih begini, agenda yang kami ajukan kurang pematangan, dan
yang lebih menyakitkannya mereka berbicara bahwa ketika kami melaksanakan
agenda itu, maka tidak akan memberikan pengaruh apapun terhadap proses
pemilihan rektor. Dan mereka memberi saran untuk mengadakan audiensi pasca
rektor baru terpilih. Yah kami tahu bahwa ketika pemilihan, mahasiswa tidak
memiliki hak suara, tapi kami hanya ingin titip kepada egkau puan maupun tuan
yang memiliki hak suara, bahwasannya ketika pemilihan nanti mohon untuk membawa
suara mahasiwa. Karena mahasiswa adalah
rakyat, dan suara rakyat adalah suara tuhan.
Baik, mereka masih berbaik hati karena menawarkan forum pemaparan visi misi
untuk melibatkan kami. Tapi, maaf kami sudah banyak kecewa ketika kami
mengadakan audiensi atau forum bersama, kebebasan berpendapat dan menyampaikan
suara kami dibatasi, entah dari segi waktu maupun perorangan. Itulah sebabnya,
kami berusaha membuka ruang untuk kami sendiri. Dari mahasiswa, untuk mahasiswa. Belum tentu, ketika pemaparan visi
misi di hadapan civitas akademik, kami selaku unsur masyarakat di kampus ini
bisa leluasa menyampaikan apa yang kita mau.
Bahkan, data yang kami peroleh terdapat gap
atau miscom di dalamnya. Hal ini
tentu bukan menghasilkan tenang tapi justru resah yang berkelanjutan. Subjektifitas
individual dapat melihat banyak unsur politik yang sedang dipermainkan. Di sisi
lain, kami masih bertanya-tanya, mengapa? Instuisi kami kuat, bahwa dibalik
semua itu pasti ada sesuatu yang menghalangi. Kami seakan layaknya komedi
putar, dipermainkan kesana kemari. Kata A harus ke B, tapi kata B, harus ke A.
Sungguh melelahkan sekali bukan?
Kami sangat sekali ingin aspirasi kami didengar, dihargai, dan diapresiasi.
Agenda yang kami kemaspun suatu bentuk untuk membangun sikap kritis dan
pendidikan demokrasi. Tidak ada unsur sindiran atau hal negatif lainnya. Tapi mengapa, kami banyak dipersulit ketika
akan berproses secara intelektual? Apakah fungsi mahasiswa hanya kuliah,
membayar UKT, uang gedung, dan menikmati fasilitas yang kurang layak itu?
Apakah kami tidak boleh bersuara, hanya diam membungkam, menuruti kebijakan
yang sebenarnya tidak bijak?
Untuk siapapun, rektorat di masa sekarang atau di masa yang akan datang.
Ingat, mahasiswa juga punya suara untuk berbicara, mahasiswa juga punya hak
untuk kemerdekaan berpendapat. Jangan terus-terusan menggunakan sistem
jahiliyah, jangan tertinggal, usia kampus ini sudah sepuh.
Mari, bergandeng bersama
memajukan institusi, kami sadar mimpi sudah terbang tinggi, namun mimpi perlu
dibarengi aksi bukan hanya diksi. Mari bersama membangun romansa, mahasiswa
maupun rektorat adalah manusia, punya rasa juga nuansa. Kami siap membersamai,
kami mau diajak berkolaborasi, jangan pernah merasa berdiri sendiri, kalau
tidak ada kami mungkin tidak akan jauh seperti ini.
Kami tahu, hari ini tidak
pernah berdiri sendirian, tentu dengan masa lampau dan masa depan. Tapi kami
tahu, kami bisa menentukan mau dipenjara dalam masa lampau, atau beranjak pada
masa depan.
Mari, bergerak maju, tidak
menjadi tahanan masa lalu. Kalau bisa bergerak hari ini, mengapa harus menunggu
nanti?
- Mahasiswa yang Kecewa -