Dok : LPM Tanpa Titik
Suasana kampus menjadi tidak
asyik, diwarnai penuh curiga dan intrik atas isu pergantian rektor baru di IBN Tegal. Hal ini menjadi sorotan bagi mahasiswa
dan menimbulkan hiruk- pikuk sebagai
kontroversi atau pro dan kontra terhadap proses pergantian rektor ini. Terutama
berkaitan
dengan upaya
demokrasi pada kalangan mahasiswa. Sebab jika ditelisik, adanya
sosialisasi terkait pergantian rektor saja kurang dijangkau oleh media massa. Entah
dari mahasiswa maupun masyarakat luar. Mereka hanya memberikan pengumuman melalui semacam baliho yang terpampang di halaman depan
kampus dan berisi rangkaian acara dari pergantian rektor baru, namun tidak dijelaskan secara detail seperti apa
mekanisme dari pemilihan carek tersebut. Hal itu mengakibatkan
mahasiswa yang merasa butuh pengetahuan harus bertanya kepada pihak terkait,
itu saja masih ada dari beberapa golongan yang merasa informasi tersebut adalah
privasi.
Fakta lain yang ditemukan bahwa, hanya 15,6% dari jumlah
responden yang mengetahui mekanisme pemilihan
rektor, sedangkan sisa 84,4% menyatakan tidak. Hal ini dapat dikaitkan
dengan minimnya kesadaran mahasiswa maupun
civitas akademika atas adanya pergantian rektor yang dilakukan oleh birokrat kampus. Bahkan tak jarang, banyak dari mereka yang
acuh terhadap persoalan tersebut. Analisanya
karena mereka menganggap bahwa, ganti atau tidaknya rektor tidak akan mempengaruhi sebuah perubahan besar yang akan
dilakukan di IBN Tegal. Fenomena seperti ini seringkali timbul akibat tidak adanya hubungan
harmonis antara mahasiswa
dan rektor. Selain
itu, mereka sudah beberapa kali menyuarakan tentang keadaan kampus, namun belum mendapatkan hasil yang ter-cover dengan baik. Menurut mahasiswa pergantian rektor
sudah akan dilaksanakan, sedangkan rektor yang lama meninggalkan RedFlags atau catatan merah yang belum
bisa terminimalisir dengan baik.
Hal ini menimbulkan mahasiswa dari elemen ormawa berbondong-bondong menyampaikan keluh kesah yang tak kunjung
usai. Mereka menilai bahwa kampus tidak memberikan hak
semestinya kepada mereka dan sering merasa aspirasinya tidak didengar.
Pemegang hak
suara atas pemilihan rektor tersebut hanya dimilki oleh sebelas orang saja,
yaitu dari Senat dan perwakilan dosen. Dalam pemilihan rektor tersebut seharusnya
mahasiswa masih memegang asas demokrasi, walaupun mereka tahu seorang mahasiswa
tidak diberi hak pilih, akan tetapi upaya untuk musyawarah bersama guna
membahas masa depan, aspirasi mahasiswa atau harapan-harapan yang ada di
kalangan mahasiswa mungkin masih bisa direalisasikan. Namun seiring berjalannya waktu, usaha-usaha
untuk mendemokrasikan pendidikan itu tidak kunjung terwujud. Dengan berlandaskan pada sistem
sistem pendidikan tinggi (intelektualitas), kampus juga merupakan
tempat awal mula menciptakan suasana
demokrasi baik di dalam atau di luar institusi. Akan tetapi mau bagaimana lagi?
Dikutip dari Google bahwa upaya untuk memberikan keleluasaan pada mahasiswa antara lain tertuang dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 155/U/1998, yang menyatakan bahwa "Organisasi Kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa."
Maka dari itu, perlu adanya solusi bersama dalam mengentaskan masalah semacam ini. Mengenai pemilihan rektor dan demokrasi kampus. Jika mahasiswa tidak memiliki suara dalam pemilihan, maka alangkah baiknya diberi sosialisasi yang jelas mengenai tahapan pemilihan tersebut. Atau paling tidak dengan saling mendengarkan pendapat satu sama lain. Hal ini guna mengurangi subjektifitas dari pihak mahasiswa, sebab mahasiswa selalu ingin mengerti segala hal yang ada di kampus termasuk pergantian rektor ini. Tidak selayaknya prinsip pragmatis yang terus-menerus menguasai hanya ingin cepat dan mendapat keuntungan saja. Sudah saatnya langkah besar perubahan diambil demi terciptanya kampus yang lebih baik daripada sebelumnya.
Penulis : Widya Rossi
Editor : Tim Redaksi