Miskin itu Privillage? I think that's not true
Pict by: Pinterest |
Saya pernah mendapati sebuah
kata-kata dari salah satu konten kreator, bahwasanya ia mengatakan "Sebenarnya lahir menjadi miskin juga privillage, karena bisa merasakan
berjuang dan jadi sukses, kalau sudah terlahir menjadi kaya biasanya itu
tekanan mentalnya jauh lebih besar, soalnya kan nggak mungkin uda kaya terus ke
miskin lagi, pastinya harus lebih kaya lagi dan itu susah." Begitu kurang
lebihnya. Tapi, menurut saya ini adalah ujaran yang tidak sepantasnya kita
ucapkan, karena bisa menyinggung untuk beberapa pihak. Lalu apa sih yang
terlintas di pikiran kita mengenai privillage? Okay, mari kita bahas terlebih dahulu
maknanya.
Dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia atau biasa disebut dengan KBBI, privillage mempunyai arti "Hak Istimewa" atau "Kemudahan Akses". Maksudnya, ketika seseorang berasal pada kelas sosial, ras ataupun suku tertentu, ia akan mendapatkan sebuah keuntungan yang tidak dapat dimiliki oleh banyak orang. Dalam hal ini, lebih memudahkan untuk mendapatkan apa yang mereka mau dibandingkan dari biasanya. Karena hak inilah yang kemudian menjadikan adanya perbedaan strata sosial di masyarakat dan menimbulkan rasa kecemburuan antar sesama, karena yang mendapat privillage pun sudah dipastikan akan digampangkan urusannya, ibarat 'ada padi segala pun menjadi.'
Lalu, apakah dengan terlahir sebagai
miskin, juga bisa disebut mempunyai privillage? It's
that not true. Diambil dari Google hal ini tidak ada kaitannya
dengan pola pikir, daya juang atau pun karakter seseorang. Jadi dengan adanya
statement yang mengatakan "miskin
itu privillage" adalah hal yang kurang tepat. Misal, dengan apa yang orang tua saya rasakan,
mereka bukanlah anak yang terlahir dari keluarga kaya raya, bahkan dahulu untuk
memenuhi kebutuhan pun susah.
Setelahnya, mereka berusaha mencari cara dengan berdagang dan menghasilkan
sesuatu yang memuaskan. Dari situlah gejolak semangat untuk mengubah nasibnya
muncul, diambil dari definisi di atas, ini bukan termasuk privillage .
Bukan kemudahan sama sekali untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan,
karena untuk mendapatkannya pun perlu perjuangan mati-matian.
Namun, dari segi sudut pandang saya
sendiri, menyatakan bahwa masing-masing orang sebenarnya juga memilikinya,
namun terkadang hanya sedikit yang menyadari hal itu. Contoh sederhananya saja,
ketika kita diberikan kemudahan untuk tetap hidup dan menjalankan aktivitas
setiap harinya, tidak hanya itu, menurut saya talenta seseorang juga termasuk
hak istimewa. Karena tidak semua orang bisa, bukan? setiap orang mempunyai bakatnya
masing-masing dan kekurangan terbesar manusia adalah ketika ia tidak menyadari
akan kelebihannya. Jadi, cara pandangnya saja sih yang perlu diubah, bahwa gak
melulu privillage itu berbentuk material turun temurun atau pun
kemudahan akses layaknya orang tua punya jabatan lebih untuk mendapat apa yang
kita mau dengan cara instan, namun kita juga mempunyai kemampuan lebih untuk
bisa mengubah keadaan.
Seperti kalimat Maudy Ayunda yang
disampaikan "Saya tidak tahu apa yang orang pikirkan bahwa mereka menyebutkan
saya mempunyai hak istimewa. Tapi saya tidak mempermasalahkannya. Okay I
have a privillage , tapi setidaknya I have a choice to do
something about it and to make the best use of it or to not doing about
it." Dari pernyataan Maudy pun kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa
ada atau tidak adanya privillage tidak menghalangi seseorang untuk
mencapai apa yang dia inginkan. Ketika kita mempunyai kemudahan akses dengan
kelebihan yang kita punya dalam hal apapun, gunakan dengan baik. Karena kelebihan
yang kita punya, termasuk bagian dari privillage yang terkubur. Kita
bisa memilih untuk menjadi orang yang pandai me- manage dari apa yang
kita punya untuk mendapatkannya tanpa harus menjatuhkan yang lainnya.
Penulis: Widya Rosi
Editor: Arfia L.