Di era saat ini menghalu merupakan suatu kegiatan yang sering dilakukan oleh kaula muda dengan anggapan “ menghalu dulu gak sih!”. Ungkapan tersebut menjadi hal yang umum bahkan menjadi realitas di kehidupan sehari-hari. Menghalu bisa diartikan sebagai membayangkan sesuatu angan-angan dengan berharap apa yang kita inginkan segera tercapai.
Memang kita menginginkan harapan kita tercapai, lantas apa
yang sudah kita kerjakan atau apa yang mungkin kita usahakan untuk membentuk
realitas dari halu tersebut?
Pasalnya,
menghalu memang proses membentuk realitas yang akan terjadi dengan dibantu oleh
keniatan. Namun, apakah niat kita benar-benar niat? Atau semacam niat terhadap
halu semata? Induvidu kita memang memiliki angan-angan yang berbeda-beda, entah
itu harta, tahta, bahkan Wanita bagi kalangan Pria begitu sebaliknya.
Mengapa manusia seringkali berlomba-lomba
mengejar ketiga hal itu? Bukankah manusia sudah ditetapkan akan menjadi apa dia
dikala esok. Coba kita bayangkan, Ketika kita mengejar harta apa yang akan kita
gunakan untuk harta itu?
Bukankah
akan digunakan untuk memiliki harta yang baru. Memang prespektif saya dapat
berbeda dengan kalian, atau bahkan mungkin sama. Kita mengejar harta terkadang
sampai lupa untuk apa harta itu kita kejar, darinya bisa jadi terdapat hak
orang lain atau hak untuk makhluk hidup lainnya yang harus kita berikan.
Secara
sadar atau tidak kita memang selalu berkaitan dengan makhluk lain, itu hal yang
wajar kemanapun kamu menghindar pasti akan membutuhkanya. Semisal kamu sedang
duduk dibawah pohon yang teduh sambil memakan bekal dari ibumu tadi pagi,
lantas ada se-ekor Kucing liar menghampirimu.
Kamu
tidak tau apakah Kucing tersebut sudah makan atau belum, kamu pun enggan
mengasih bagian untuknya. Lantas sehabisnya kamu makan, kamu menemukan Kucing
yang barusaja kau temui itu tergeletak tak bernyawa. Bukan kah jika kamu punya
perasaan akan berkata “ seharusnya tadi kuberi kepada Kucing tersebut, walaupun
sedikit” tetapi hal itu hanya menjadi penyesalan yang berlarut-larut.
Ilustrasi
tadi menggambarkan bahwa entah itu kita sesame manusia ataupun kepada makhluk
hidup lainnya, berikanlah walaupun sedikit dari apa yang kita miliki. Tidak
usah kita hiraukan entah mereka memiliki banyak dari apa yang kita punya ataupun
tidak asalkan ikhlas pemberian itu jau lebih bermakna ketimbang ditimbun untuk
diri sendiri.
Selanjutnya
kita terkadang mengejar tahta atau dapat disebut dengan kedudukan, kehormatan,
pengakuan atau yang lainnya. Memang penting bagi personal manusia, karnanya
kita akan dikenal mendapatkan peronal branding dan mendapatkan nilai jual dari
karya diri kita. Namun, apakah tahta itu apakah harus kita kejar? Apakah
penting tahta untuk diri manusia?
Padahal
manusia hanya berkedudukan sebagai hamba di hadapan Tuhan. Bisa kita lihat,
perebutan kursi di dalam pemerintahan negara, yang saya lihat mereka merebutkan
kursi-kursi kosong tersebut bukan dari kualitas mereka yang ingin mengisi
bagian dari pemerintahan tersebut.
Melainkan
tergiur dari upah yang didapat oleh kursi tersebut, yang katanya mewakili
rakyat nyatanya kok malah menindas rakyat. Menindas dalam artian yang mereka
tidak sadari, yang diatas semakin tinggi yang di bawah semakin kebawah dan
akhirnya tidak ada jembatan yang mampu langsung didengar oleh kalangan atas.
Harapan
masyarakat akan menjadi halusinitas belaka, mereka berharap ini itu tetapi
apakah mereka akan mendengarnya? Kita sebagai masyarakat selalu taat membayar,
mengeluarkan, bahkan memberi untuk negara. Lalu apakah negara melihat keluh kesah
mereka? “bansos kan cukup untuk menyenangkan mereka?” ya cukup paling satu atau
dua hari, setelahnya mereka akan mencari dan selalu mencari untuk membuat dapur
mereka tetap menyala.
Yang
sangat disayangkan, kita selalu mengikuti trend yang dari pusat, ekonomi kita
mengikuti yang ada diatas. Bukankah uang 100 ribu waktu itu dapat membeli ini
itu dan sekarang uang segitu hanya dapat mencukupi kebutuhan pokok selama satu
hari.
Inilah
yang menjadikanya halu antara pemerintah dan masyarakat, halu akan janji-janji
para Pemimpin, halu akan kesejahteraan rakyat, halu akan hidup damai tanpa
adanya perampasan tanah. Dari halu kita mengajarkan bahwa kenyataan kita
bernegara hanya sebatas realitas semu, dari halu kita mengerti bahwa tanpa
adanya realitas tidak ada kehidupan.
Dunia
ini akan sunyi ketika semua orang hanya berhalu, maka marilah berhalu dan
jadikan halu itu semangat untuk membentuk realitas. Ada yang terakhir Wanita,
mungkin terkadang sering menjadi halu para pria untuk mendapatkan wanta.
Seperti halnya terkadang kita menghalu untuk mendapatkan Wanita yang nampak
pada smartphone kita, kita sambil rebahan dengan membayangkan hidup bersama gambar
seperti manusia.
Apakah
kita hidup memang pada ruang halusinitas saja? Dan kita nyaman didalamnya.
Kebahagiaan manusia sudah ditentukan oleh prodak kapital yang serasa kita harus
bahagia dengan cara mereka. Dan itu dikejar hingga banyak orang mengalami
depresi bahkan membahayakan nyawanya sendiri demi hal itu.
Kita
sering kali Ketika sedang sendirian atau bisa disebut jomblo, mencari
pemandangan indah yang ada di sosial media. Cantik satu, kemudian cantik dua
dan seterusnya. Mengapa demikian? Apakah kecantikan hanya sebatas halu yang
kita lihat sosial media? Sehingga ketika bertatap muka secara langsung akan berubah
prespektif kita kepada orang tersebut atas makna cantik sebelumnya.
Itulah
halu yang tidak sesuai realitas, pada hal ini memang sangat marak diera sekarang.
Jika dibandingkan dengan era orang tua kita, mereka menjalankan kehidupan
dengan apa adanya tanpa manipulasi diri untuk dapat disebut cantik. Mereka
bertatap muka saling mengenal antara lawan bicara, mereka bertemu jika rindu.
Memang serasa asik jika kita balik ke masa itu, banyak makna yang terkandung
dari setiap kehidupan.
Penulis:
Wan