Sabtu 21 Desember kemarin, telah berlangsung Bedah Buku Matsnawi karya Maulana Jalaludin Rumi yang di terjemahkan dari bahasa persia oleh Muhammad Nur Jabir. Terjemahan dari seseorang yang kerap di sapa Ustadz Jabir ini terdapat tiga jilid dan beliau menekuni hal itu kurang lebih selama kurun waktu lima tahun. Waktu yang begitu singkat untuk memahami karya rumi tersebut, menurut Teguh Puji Harsono selaku budayawan Tegal ia menyatakan persoalan rumi tidak ada yang tau matsnawi selain Jalaludin Rumi itu sendiri.
Narasumber pertama di bawakan langsung oleh Rektor IBN Tegal, yaitu Dr. Saepudin, M.A. Ia memulainya dengan kutipan dari Abu hasan Al-Baghdadi, Sufi menurutnya seseorang yang masih tradisional, orang yang tidak melihat langit, orang yang lurus. Ia juga melanjutkan menurutnya orang belajar sesuatu sekian persen terkontaminasi, tersapat satu nilai yang terinfus ke dalam diri kita. Jadi jangan lihat dari penampilanya, tetapi lihatlah dari apa yang dia lihat dan dia rasakan.
Ia melanjutkan Rumi dalam matsnawi merupakan tentang pemikiran hampir semua sudi sebagai sufi hanyalah menuju Allah Azawajala. Terdapat banyak tokoh sufi dalam sejarahnya, ia menyebutkan tokoh Robiah Adawiyah yang mencetuskan konsep Mahabatullah.
Ia juga melanjutkan dengan kilas balik sejarah pada masa awal abad pertama, menurutnya tidak ada istilah Tasawuf adanya Zuhud dan di sebut Zahid bukan sufi. Ia juga melanjutkan pada masa kodifikasi islam yang terjadi pada abad tiga dan empat istilah sufi di cetuskan oleh Syekh Hasyim Al-Khufi, setelahnya banyak penelitian pada abad ini. Lanjutnya hampir semua sufi menuju yang satu, jika ingin mendalami pemikiran Rumi maka matikanlah keduniaanmu. Perilaku syariat itu raga, tarekat itu hati, hakikat itu jiwa, makrifat itu rasa. Permainan rasa itu bisa bersifat pasif dan aktif.
Rumi menggunakan syair atau puisi sufistiknya, dalam karya lain Fihi Ma Fihi di jelaskan saya berada di dalamnya tetapi tidak di dalamnya. Kemudian pemaparan darinya di simpulkan Untuk memahami sufi dari akademik oeang mencapai tuhan dengan cara frekuensi yang berbeda-beda.
Selanjutnya menuju narasumber yang ke dua, yaitu Teguh Puji Harsono ia memulai pemaparanya dari membedah tagline bedah buku yaitu jika cinta datang pena-pena akan patah. Darinya menjelaskan pena-pena akan patah karena engkau menerjemahkan cinta. Manisnya mangga dan jeruk berbeda, kamu akan menikmati manisnya ketika engkau telah mencicipinya jelas seseorang yang kerap di sapa Pak TPH.
Narasumber melanjutkan dalam bahasa jawa Jumbuh dalam filsafat gambuh, matsnawi dalam sastra jawa dapat dikelompokan menjadi suluk. Sebuah perjalanan menjadi manusia. Begitu masuk ruang spiritual itu tidak ada batasanya, maka tidak heran jika terdapat orang yang bertemu sesepuhnya. Jadi beruntunglah kalian yang memasuki zaman akhir karena terdapat ruang untuk mengakses zaman awal.
Ia melanjutkanya dengan menjelaskan konsep jumbuh itu tidak ada pertemuan juga tidak ada perpisahan, Syekh Syamsi At-Tabriz merupakan tokoh yang dalam referensi lain di sebutkan "Deburan dua samudra bertemu dan menumpahkan rindu" pertemuan dua orang tersebut di gambarkan sebagaimana Nabi Khidir bertemu dengan Nabi Musa As.
Pak TPH menjelaskan juga tentang karakter Adigum itu mempertemukan objek dan ruang yang di sebut Jumbuh, bagi orang jawa tidak mensifati keberadaan tuhan karena sifat itu nisbi. Aku yang besar sudah masuk maka aku yang kecil tidak ada, laku bersandar pada pengetahuan. kemudian pemaparannya ditutup kesimpulan oleh moderator dengan kalimat "Cinta itu tidak bisa di bahasakan, jika cinta itu dibahasakan maka cinta itu tidak ada".
Kemudian di lanjut oleh seseorang yang menerjemahkan Matsnawi yaitu Muhammad Nur Jabir, ia memaparkan kenapa dirinya tidak mau di awal untuk menjelaskan. Karena kebahagiaan seorang penerjemah adalah ketika suatu karyanya di bicarakan.
Matsnawi itu kitab sufistik, semua sufi berbicara mengenai manunggaling kaula gusti atau pengetahuan dengan tuhan. Seseorang boleh saja sejiwa dan senafas denganku tetapi tidak menjadi telinga dan mata dari Mu, jelas seseorang yang kerap di sapa Ustad Jabir.
Dirinya melanjutkan kitab ini bakal banyak yang menafsirkan, jika seorang penyair maka dia membebaskan penafsir. Para sufi saling mewarisi diksi dan hal keindahan pada perempuan itu di ambil sufi untuk diksi sufistik. contoh tai lalat di gambarkan makom zat, kenapa lunglai kerena manusia itu tidak bisa sampai kepada tuhan, bibir itu di tafsirkan Inalilahi Wainailaihi Rojiun.
kemudian ia juga melanjutkan hati yang tidak pernah jatuh cinta itu bukan hati, cinta itu adalah bentuk ekspresi tapi tidak dapat di definisikan. Seorang kekasih akan menyatukan frekuensi pasanganya. jika seorang pencinta, ia akan takluk kepada kekasih, cinta itu mati. Jika engkau bukan ahlinya, jangan engkau tenggelam di dalamnya. Jika tidak engkau akan mati (fana).
Sedikit apa yang saya tangkap dari bedah buku matsnawi kemarin, baca dengan teliti semoga tidak puas atas apa yang telah di utarakan, semoga berbahagia.
Penulis : Ilwan Qodri (Dulur tua LPM Tanpa Titik)