Para Narasumber dalam acara bedah buku Matsnawi yang dimoderatori oleh Gus Aqib
Slawi, 21 Desember 2024
Menjadi sebuah hal yang aneh, sedikitnya antusias, apatisnya mahasiswa, dan hal yang utopis merupakan sedikit gambaran dari sebelum hari H pelaksanaan bedah buku terjemah matsnawi oleh ustad Muhammad nur Jabir di kampus IBN Tegal.
Kenapa ? Setidaknya melihat dua hal. Pertama, elemen Mahasiswa/i IBN yang kupu (kuliah langsung pulang) masih banyak. Hal ini bisa dipantau ketika jam kuliah selesai. Kedua, mahasiswa/i IBN yang tidak kupu pun mempunyai dua sampai berlapis kegiatan yang cenderung dari potensi untuk hadir jelas sedikit.
Anggapan tersebut tersapu bersih ketika acara dimulai sampai selesai. Antusias, semangat hadirin, dan snowballnya peserta yang bertanya menjadi jawaban atas keraguan diatas.
Pak Jabir, penerjemah buku Jalaluddin Rumi sekaligus memantik banyak hal, yang masih dalam lingkaran tema bedah buku yaitu jika cinta datang, pena-pena akan patah.
Beliau memulai dari masa ke masa kodifikasi sufistik beberapa tokoh diantaranya yaitu al-Qusyairi (376-465 H), Al-Harawi (396 H), dan al-Ghazali (450-505 H). Al-Qusyairi (376-465 H).
Penggagas Rumi Institute ini juga menyampaikan pandangan seperti adanya kesepakatan diksi dalam memilih kalimat untuk bersyair, meminjam sebuah objek untuk dijadikan perumpamaan bagi objek yang sejati yaitu Tuhan. Hal demikian memang selaras dan pernah disinggung juga dalam nash primer umat Islam. Tepatnya dalam surat al-ankabut ayat 43 :
وَتِلْكَ ٱلْأَمْثَٰلُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ ۖ وَمَا يَعْقِلُهَآ إِلَّا ٱلْعَٰلِمُونَ
"Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu".
Disebutkan juga dengan diawali analogi dalam surat al-Hasyr ayat 21 ;
لَوْ أَنزَلْنَا هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُۥ خَٰشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ ٱللَّهِ ۚ وَتِلْكَ ٱلْأَمْثَٰلُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
"Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir."
Selain itu, penjelasan dari pak Jabir juga mengingatkan kita keterangan dari Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam abwabul faraj mengatakan ;
ما اغترفوا تلك الفيوضات إلا من بحر النبي الأكرم، ولا اقتبسوا هاتيك الأنوار الساطعات ألا من نزرع صلى الله عليه وسلم.
Terjemah bebasnya : tidaklah para bijak ahli hikmah menentukan sesuatu kecuali dari nur atau ajaran nabi Muhammad SAW.
Pandangan demikian juga secara tidak langsung akan mengarah pada firman Allah Azza wa jalla dalam Ali Imran ayat 31 ;
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu".
Bahwa jika kamu mengaku cinta pada Allah maka harus mengikuti nabi Muhammad, apapun yang ia perintahkan lakukan, dan apa yang nabi larang tinggalkan. Hal ini sesuai juga dengan penggalan ayat ke tujuh dalam surat al-Hasyr ;
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟
Ayat tersebut menegaskan, apa yang nabi datang membawanya (perintah) maka ambillah, dan apa yang nabi cegah, maka jauhilah.
Maklum diketahui, yang nabi perintah dan larang ada dalam syariatnya. Spirit ini juga disinggung oleh pak Jabir ketika sesi tanya jawab, bahwa mengenal dan mencintai Allah tentu berkonsekuensi mentaati syariatnya. Pemahaman kebalikannya, bagi siapa saja yang mengaku mencintai Allah namun tidak menjalankan syariat sesuai dengan ajaran Kekasihnya,yakni nabi Muhammad adalah bohong.
Hanya saja, penjelasan dari pak Jabir ini masih di area "pintu masuk" belum sampai "ruang tamu", "dapur" dan apalagi "pintu keluar". Pembahasan seputar mencintai Tuhan namun, belum sampai dan belum menegaskan konsekuensi jika sudah cinta. Sikap seorang pencinta dan _lawazim_ lainnya. Sampai pada akhirnya rektor IBN menegaskannya.
Terakhir pria kelahiran Makassar ini juga menjelaskan bahwa objek cinta sejati hanyalah Allah, dan yang susah itu kemurnian dalam cinta. Tentu hemat saya penjelasan pamungkas beliau ini hanya bisa dinikmati orang orang khusus, bukan seperti saya ini, Jhehe.
Penulis : Lutful Hakim (Dulur Tua LPM Tanpa Titik)