Bedah Buku Matsnawi Maknawi yang diselenggarakan oleh LPM Tanpa Titik yang berkolaborasi dengan komunitas lainnya berlangsung di Aula IBN pada Sabtu pagi (21/12/24). Acara bedah buku ini mengusung tema “Jika cinta datang, pena-pena akan patah”. Acara ini dimoderatori oleh Gus Khusnul Aqib, S.H dengan menghadirkan para narasumber yaitu Bapak Dr. Saepudin, M.A, Ustadz Muhammad Nur Jabir dan Bapak Teguh Puji Harsono.
Buku Matsnawi karya Maulana Jalaluddin Rumi diterjemahkan oleh seorang satrawan dan cendekiawan yang bernama Muhammad Nur Jabir. Beliau menerjemahkan Matsnawi dari bahasa persia ke Indonesia. Buku ini membahas tentang ajaran spiritual dan sufistik, pengajaran tentang kehidupan yang baik, tentang cinta, kebijaksanaan dan kesabaran serta yang pembahasan yang lainnya.
Namun pada Bedah Buku Matsnawi kali ini, lebih memfokuskan pembahasan tentang cinta. Tema yang diangkat kali ini memang sangat berkaitan dengan kondisi yang banyak terjadi dikalangan anak muda. Apalagi di era Gen-Z , cinta menjadi sesuatu yang sangat relate dan banyak diperbincangkan oleh mereka.
Definisi cinta yang kita tau hanya sebatas perasaan atau ketertarikan terhadap seseorang. Namun berbeda dalam Kitab Matsnawi, buku ini menjelaskan bahwa definisi cinta tak hanya sebatas itu, cinta sebagai kekuatan ilahi yang menghubungkan manusia dengan Tuhan. Dengan definisi tersebut, saya memahami bahwa cinta tak hanya sebatas kepada manusia tapi ada cinta yang lebih bermakna yaitu cinta yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Sayangnya banyak orang yang tak menyadari yang sebenarnya, efek dari cinta akan mengantar kita naik ke atas. Seorang yang jatuh cinta akan mengalami suatu bentuk ketidakterbatasan didalam dirinya, dia akan melampaui segala hal yang dia miliki. Rumi meyakini bahwa dua orang yang saling mencintai, nanti dia akan menyadari bahwa cintanya ini hanya bisa dia raih kalau objeknya Tuhan, seperti pada kisah Layla Majnun dan Yusuf Zulaikha.
Banyak kita temui dan mungkin pernah kita rasakan hal yang sama. Cinta yang muncul dalam hati seseorang tak membuahkan rasa yang sama pada yang ia cintai. Inilah yang akhirnya membuat kekecewaan dalam dirinya. Cinta memang muncul begitu saja dalam hati kita, terkadang kita pun tak menyadari akan hadirnya cinta. Namun kita tak boleh meyalahkan cinta, karena cinta tak pernah salah, kesalahan terletak pada cara kita dalam memahami dan mengekspresikan cinta itu sendiri.
Tak bisa dipungkiri, Cinta tak lepas dari kekasih. Itulah yang dirasakan oleh seorang yang sedang jatuh cinta. Cinta yang ada dalam dirinya seakan membuatnya ingin terus bersama dengannya. “Kata Rumi, hakikat cinta itu menjadi diam” , ujar Ustadz Muhammad Nur Jabir. Seorang yang jatuh cinta, dia akan menyamakan frekuensi dengan kekasihnya. Dia seakan menyukai apa yang kekasihnya sukai.
Dalam dunia tasawuf selalu ada 2, ada pecinta dan ada kekasih. Yang berjalan itu pecinta dan yang diam itu kekasih. Pada akhirnya pecinta akan lebur didalam diri kekasih. “Cinta adalah nyala api yang membakar segalanya kecuali kekasih”
Di dalam kitab 1 bait 10 menegaskan yang telah dijelaskan “Segalanya adalah kekasih pecinta bagi tirei, kehidupan sejati adalah kekasih dan pecinta mati”. Jadi, segalanya adalah kekasih pecinta bagi tirei. Tirei tak punya daya, tirei bergerak karena adanya angin atau ada orang yang menggerakan. Artinya pecinta selalu takluk dihadapan kekasih. Dia tak berdaya dan tak bisa melakukan apapun kecuali kekasih yang menggerakkannya. Kehidupan sejati adalah kekasih dan pecinta mati. Istilah cinta mati ini hanya ada di sufi, yang dimaksud mati disini adalah fana dalam diri kekasih
Ustadz Muhammad Nur Jabir selalu menukil istilah cinta dari Ibnu Farid. Beliau sejalan dengan Ibnu Arabi. Beliau juga menulis pengalaman mistiknya melalui syair-syair. Syair yang selalu beliau kutip yaitu “Jika engkau bukan ahlinya, jangan engkau tenggelam dalam cinta. Karena ketahuilah cinta itu awalnya derita dan akhirnya kematian”.
Sebab itu yang paling susah diraih adalah kemurnian didalam cinta. Banyak dari kita cinta yang seperti unconditional love, yang tanpa syarat ini banyak orang yang mengingkari. Saking sulit untuk menemukan wujudnya banyak orang yang mengingkari tentang cinta yang benar benar tulus yang tidak mau apa-apa kecuali kekasihnya. Biasanya cinta selalu dinegosikan dengan sesuatu yang bersyarat. Seperti, kalau kamu suka saya, saya suka kamu. Kalau kamu kasih ini, saya kasih itu. Sehingga orang banyak yang mengingkari, kalau pun ada itu hanya di roman-roman.
Dalam kitab pertama matsnawi bait 205-206 menjelaskan bahwa “cinta yang masih berwarna itu bukan cinta namun ketimpangan. Oh andai orang-orang memahami cinta yang berwarna adalah suatu kehinaan. Tak ada orang yang terperangkap dalam derita ini”. Di kitab ini Rumi ingin menjelaskan bahwa cinta tak pernah salah yang salah itu objeknya. Banyak dari kita salah dalam menaruh cinta. Kita terlalu fokus pada seseorang yang dicintai. Tapi lupa bahwa seseorang yang kita cintai adalah manusia yang tak memiliki cinta yang abadi dan akhirnya mereka merasakan kekecewaaan setiap kali mencintai seseorang.
Bicara cinta berarti bicara tentang rasa. Mungkin ada yang rasa bisa dibahasakan, namun berbeda dengan cinta. Tak semua orang bisa mendefinisikan cinta, karena tak semua orang dapat merasakan cinta. “Hanya pecinta yang dicinta yang dapat merasakannya”. Semua realitas ciptaan ini pasti mendapatkan cinta ilahi. Tapi aktif atau tdk itu berada ditangan tuhan
Sebelum berakhirnya acara, Ustadz Muhammad Nur Jabir memberikan sebuah kutipan dari Kitab Matsnawi, kitab 2 bait 1529-1531 yang berbunyi “ Karena cinta segala yang pahit menjadi manis, karena cinta suluh tembaga menjadi emas, karena cinta segala ampas menjadi jernih, karena cinta seluruh derita menemukan penawar, karena cinta raja menjadi hamba”.
Penulis: Khazima Zahra Fauzia (Anggota LPM Tanpa Titik)