Perancis dan Inggris Akan Akui Palestina: Apa Artinya dan Bagaimana Respons Israel?
Pada akhir Juli 2025, Presiden Perancis Emmanuel Macron menyatakan bahwa Perancis akan secara resmi mengakui negara Palestina pada Sidang Umum PBB bulan September. Beberapa hari kemudian, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyampaikan rencananya untuk mengikuti langkah tersebut kecuali ulang larangan militer Israel terhadap Gaza tidak segera diperbaiki. Ini menjadi langkah diplomatik besar lantaran kedua negara merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB (G7), dan belum pernah mengambil sikap langsung tentang pengakuan Palestina.
Presiden Macron menekankan bahwa pengakuan tersebut adalah bagian dari komitmen historis Perancis terhadap resolusi konflik Israel-Palestina berdasarkan solusi dua negara. Ia menyatakan bahwa pengumuman formal akan dilakukan pada Sidang Umum PBB bulan September mendatang. Pengakuan ini dipandang sebagai solidaritas terhadap penderitaan rakyat Palestina dan respons terhadap krisis kemanusiaan yang tengah terjadi di Gaza.
Sementara itu, di London, PM Keir Starmer menetapkan syarat pengakuan: Israel harus menghentikan operasi militer di Gaza, membuka jalur bantuan kemanusiaan, mengakhiri ancaman aneksasi di Tepi Barat, dan komitmen terhadap solusi dua negara. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, Inggris akan melangkah maju untuk mengakui Palestina sebagai langkah diplomatik simbolik sekaligus tekanan terhadap Israel.
Dampak langkah ini sudah terasa. Israel mengecam keras keputusan Perancis dan kemungkinan pengakuan Inggris. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut bahwa pengakuan semacam ini hanya memberi imbalan bagi Hamas dan akan memperburuk situasi keamanan regional. Pemerintah AS juga memberi sinyal kekhawatiran; sejumlah pejabat menyatakan pengakuan unilateral tanpa negosiasi dianggap kontra-produktif bagi proses perdamaian.
PBB menyaksikan reaksi internasional yang beragam. Arab Saudi dan Perancis memimpin konferensi penting pekan lalu, mengundang lebih dari 125 negara untuk mendukung “New York Declaration”, sebuah roadmap menuju solusi dua negara, penghentian perang, serta stabilisasi di Gaza. Resolusi ini mendesak pengakuan negara Palestina serta penarikan Israel dari wilayah yang diduduki.
Secara historis, lebih dari 140 negara telah mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Namun pengakuan dari negara anggota tetap PBB seperti Perancis dan Inggris menambah tekanan diplomatik signifikan ke negara-negara sekutu Israel, termasuk Amerika Serikat. Banyak ahli hukum internasional menyoroti bahwa pengakuan bilateral tidak menjamin keanggotaan penuh Palestina di PBB karena hak veto dari AS masih menjadi hambatan.
Secara praktis, pengakuan Palestina oleh Perancis dan Inggris akan memberikan hak diplomatik yang lebih kuat: Palestina dapat menaikkan status misinya di London dan Paris menjadi kedutaan, mendapatkan hak diplomatik penuh, serta mengakses badan internasional dan pengadilan global. Namun untuk benar-benar menjadi anggota PBB sebagai negara penuh masih memerlukan suara dari Dewan Keamanan yang kemungkinan akan difiltrasi oleh AS.
Di dalam negeri Perancis dan Inggris sendiri, tekanan publik sangat tinggi. Macron menghadapi dualitas internal ketika masyarakat yang memiliki komunitas Yahudi dan Muslim cukup besar mendorong sikap lebih tegas. Di Inggris, lebih dari 200 anggota parlemen dari lintas partai menuntut pengakuan segera atas Palestina sebelum Sidang Umum PBB.
Langkah ini menandai momen penting dalam diplomasi global: pengakuan dua negara tidak lagi dianggap simbol semu, melainkan alat tekanan progresif terhadap negara pendudukan. Meskipun pengakuan ini tidak secara otomatis mengakhiri konflik, namun menjadi pengakuan hak dasar kemerdekaan dan bentuk dukungan internasional terhadap solusi politik yang inklusif dan berkelanjutan.