Israel Desak Hamas Serahkan Senjata: Gaza City Dancangkan Ancaman Penghancuran
Gerbang Neraka Dibuka Jika…
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, memberikan peringatan tegas kepada Hamas: jika tidak menyerahkan senjata dan membebaskan sandera secara penuh, maka “gerbang neraka akan terbuka” bagi Gaza City. Ia memperingatkan bahwa kota tersebut bisa mengalami kehancuran total seperti yang terjadi di Rafah dan Beit Hanoun.
Detil Ultimatum dan Upaya Diplomasi
- Tuntutan Israel: Hamas harus membebaskan seluruh sandera dan menyerahkan senjatanya sebagai syarat perdamaian.
- Langkah Militer: Sementara itu, Israel telah memobilisasi 60.000 pasukan cadangan dan merancang operasi besar untuk menguasai Gaza City, dikenal sebagai ofensif Operation Gideon’s Chariots II.
- Dampak Kemanusiaan: Persetujuan pemerintah Israel ini dilakukan di tengah krisis kelaparan parah di Gaza—UN menyatakan lebih dari 514.000 warga menghadapi kondisi pencekalan pangan yang ekstrem.

Dampak Citra Global dan Respons Internasional
Juru Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, mengecam situasi kelaparan sebagai hasil “gagalnya kemanusiaan” — menyebutnya sebagai bencana buatan manusia yang seharusnya bisa dihindari. Banyak negara mengecam rencana ofensif Israel, menyatakan bahwa tindakan tersebut semakin memperburuk kondisi sipil di Gaza.
Ringkasan Kunci
Poin Utama | Kondisi |
---|---|
Ancaman Israel | “Gerbang neraka akan terbuka” — Gaza City bisa hancur jika Hamas tidak menyerah |
Syahwat Militer | 60.000 reservis digerakkan untuk persiapan ofensif ke Gaza City |
Krisis Kemanusiaan | Lebih dari 500.000 pencinta kelaparan akibat operasi dan blokade |
Tekanan Global | UN dan negara-negara besar mendesak gencatan senjata dan akses bantuan |
Kesimpulan
Israel menghadapkan ultimatum keras kepada Hamas—lepas senjata atau hadapi kehancuran total Gaza City. Sementara itu, krisis kelaparan yang mengancam nyawa banyak warga menjadi panggung kemanusiaan yang mendesak perhatian dunia. Situasi ini mempertegas bahwa konflik bersenjata tidak terjadi dalam ruang kosong melainkan dalam realitas penderitaan manusia dan diplomasi yang mulai terkikis.