Presiden Suriah Umumkan Gencatan Senjata Antara Suku Badui dan Druze di Sweida
Latar Belakang Konflik
Sejak awal Juli 2025, provinsi Sweida di selatan Suriah menjadi episentrum konflik keras antara kelompok suku Badui (Sunni tribal fighters) dan milisi Druze lokal—berujung pada lebih dari 700 korban jiwa, ribuan warga mengungsi, dan kondisi kemanusiaan darurat. Konflik ini juga melibatkan intervensi militer Assad, serangan udara Israel, serta ketegangan sekte antara dua komunitas.
Negosiasi & Gencatan Senjata
Pada 18 Juli 2025, Presiden interim Suriah Ahmed al-Sharaa mengumumkan gencatan senjata antara pasukan pemerintah, milisi Druze, dan suku Badui di wilayah Sweida. Kesepakatan ini dimungkinkan setelah upaya mediasi oleh Amerika Serikat, Turki, dan negara-negara Arab tetangga. Al-Sharaa menyatakan bahwa perlindungan terhadap komunitas Druze kini menjadi prioritas nasional.
Isi Gencatan & Dampak Lapangan
Gencatan mencakup:
- Penarikan pasukan pemerintah dari pusat konflik, dengan jaminan netralitas milisi Druze.
- Larangan aktivitas militer di wilayah sipil, serta pemberhentian serangan udara Israel selama beberapa periode.
- Akses bantuan kemanusiaan, meski laporan menyebut listrik dan komunikasi masih sulit dipulihkan.
Namun Eskalasi sporadis masih terjadi, dan ribuan warga belum bisa kembali ke rumah mereka.
Intervensi Israel: Alasan & Respons Dunia
Israel melakukan beberapa serangan udara terhadap sasaran militer Suriah di sekitar daerah Druze, dengan alasan ingin melindungi minoritas Druze, terutama mereka yang memiliki ikatan dengan komunitas Druze di Israel. Meskipun gencatan awal efektif, ada laporan serangan lanjutan kecil dan peringatan dari AS agar semua pihak menghormati kesepakatan.
Reaksi internasional umumnya menyambut baik gencatan ini. PBB, AS, Turki, Yordania, dan negara-negara kawasan terus mendesak agar perdamaian dipertahankan dan pemulihan segera dimulai.
Korban dan Krisis Kemanusiaan
Menurut Syrian Observatory for Human Rights, lebih dari 700 orang tewas—termasuk tentara, suku Badui, milisi Druze, dan warga sipil—saat gencatan diumumkan, dan korban terus bertambah ketika konflik mereda sedikního. Banyak rumah hancur, dan 80.000 orang terpaksa mengungsi. Laporan terkait pembantaian di jalan dan eksekusi massal muncul, menambah keprihatinan hak asasi manusia dalam konflik ini.
Komunitas Druze: Kekhawatiran & Solidaritas Regional
Komunitas Druze di Israel melakukan kontak dan demonstrasi solidaritas, menuntut control pihak diplomatik Israel agar menjaga keselamatan Druze di Suriah. Meski demikian, beberapa pemimpin Druze Lebanon memperingatkan agar Israel tidak memanfaatkan konflik ini sebagai dalih intervensi politik.
Tantangan Jangka Panjang
Kesepakatan gencatan saat ini hanya berlangsung sementara. Masih ada risiko:
- Bangkitnya kembali konflik suku Badui–Druze karena dendam lama atau perebutan wilayah.
- Potensi intervensi lanjutan oleh Israel jika situasi memburuk.
- Rasa mistrust terhadap pemerintah Suriah karena keterlibatan militer dan tuduhan pelanggaran HAM AP NewsReuters.
Langkah Selanjutnya
Untuk keberlanjutan gencatan, diperlukan:
- Implementasi protokol de-eskalasi, dengan patroli netral dan keluar rumah milisi berat.
- Rekonstruksi infrastruktur dan distribusi bantuan agar warga bisa kembali.
- Dialog inklusif antara pemerintah, milisi lokal (Druze – Suwayda Military Council), dan suku Bedui.
- Pemantauan hak asasi oleh pihak independen, untuk mengusut kasus pelanggaran HAM.
Harapan ke Depan
Pengumuman gencatan senjata oleh Presiden al-Sharaa membuka peluang menenangkan konflik sektarian dan dimulai upaya pemulihan. Meski tantangan besar menanti, semangat diplomasi regional dan solidaritas komunitas memberi harapan awal.
Apakah ini menjadi momentum perdamaian jangka panjang di Sweida? Warga dan dunia mengharapkan langkah nyata selanjutnya: transisi dari gencatan senjata menuju rekonsiliasi nasional.