Terungkap! 212 Merek Beras Ternyata Oplosan, Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?
Fakta Mengejutkan di Balik Rak-Rak Supermarket
Kasus beras oplosan kembali mengguncang jagat ekonomi Indonesia.
Berdasarkan temuan Satgas Pangan Polri bersama Badan Pangan Nasional, terungkap ada 212 merek beras yang diduga kuat dioplos dari kualitas rendah ke premium, lalu dijual dengan harga tinggi.
Fakta ini tentu bikin banyak konsumen terkejut sekaligus geram. Bayangkan, beras yang dikira premium ternyata hanya berlabel bagus, padahal isinya hasil campuran beras medium bahkan afkir.
Modus Oplosan yang Sudah Sistematis
Direktur Satgas Pangan, Brigjen Pol Whisnu Hermawan, mengungkapkan bahwa praktik oplosan ini melibatkan rantai distribusi panjang.
Mulai dari pedagang gabah, penampung, penggilingan, hingga distributor retail.
Mereka bekerja sama memoles beras medium menjadi seolah-olah kualitas super.
“Modusnya, beras medium dicampur dengan sedikit beras premium. Setelah itu dikemas ulang dengan merek baru, diklaim 100% premium, lalu dilempar ke pasar modern,” ujar Whisnu.
Merugikan Petani dan Konsumen
Yang dirugikan jelas: petani dan konsumen.
Petani kecil jadi sulit bersaing karena harga gabah di tingkat petani ditekan, sementara pengepul nakal bisa menekan biaya beli bahan baku dengan kualitas rendah.
Konsumen pun akhirnya membayar mahal untuk produk yang tak sesuai label.
“Ini praktik penipuan konsumen secara terang-terangan,” kata Sekjen Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih.
Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?
Publik kini mempertanyakan pengawasan.
Banyak pihak menilai pemerintah pusat, daerah, bahkan manajemen ritel modern harus ikut bertanggung jawab.
Satgas Pangan sudah berjanji akan menindak tegas pelaku usaha yang terbukti curang.
Hingga kini, sudah belasan gudang beras disegel di Karawang, Subang, dan Bekasi.
Sebagian pemilik merek juga terancam pencabutan izin edar.
Tanggung Jawab Pengelola Retail
Praktik oplosan ini bisa lolos ke rak supermarket modern juga jadi sorotan.
Bagaimana mungkin ritel besar luput memeriksa rantai pasok?
Beberapa manajemen ritel berdalih mereka hanya menerima barang dengan sertifikat dari pemasok.
Namun, aktivis perlindungan konsumen menilai dalih ini tak bisa jadi alasan.
“Retail seharusnya lebih ketat. Kalau labelnya menipu, itu misleading, dan retailer bisa diseret,” kata Tulus Abadi, Ketua Harian YLKI.
Celah di Sistem Pengawasan
Pengamat pangan INDEF, Rusli Abdullah, menyoroti lemahnya pengawasan.
Ia menilai Badan Pangan Nasional dan pemerintah daerah sering ‘telat’ mendeteksi rantai pasok beras oplosan.
“Kasus begini bisa diantisipasi kalau audit rantai pasok berjalan. Pabrik penggilingan dan distributor harus diawasi berkala. Faktanya, celah ini dipakai spekulan,” katanya.
Rugi Miliaran Rupiah Setiap Bulan
Dampak praktik beras oplosan bukan hanya soal kepercayaan publik, tapi juga kerugian ekonomi.
Dengan maraknya merek palsu, petani sulit menjual gabah dengan harga wajar, sedangkan konsumen sudah mengeluarkan uang lebih.
Menurut perhitungan SPI, potensi kerugian di tingkat konsumen bisa mencapai Rp 500 miliar per bulan, kalau melihat skala distribusi 212 merek tersebut.
Pencabutan Izin dan Penjara Menanti
Whisnu menegaskan sanksi pidana menanti pengusaha curang.
Mereka bisa dijerat UU Perlindungan Konsumen dan UU Pangan.
Ancaman hukuman pidana 5 tahun dan denda Rp 2 miliar mengintai pelaku usaha yang menipu konsumen.
“Selain pidana, Satgas juga mendorong penertiban izin edar. Ini langkah agar merek-merek palsu tidak kembali muncul dengan nama berbeda,” katanya.
Bagaimana Cara Membedakan Beras Asli atau Oplosan?
Konsumen sebenarnya bisa mendeteksi kualitas beras dengan cara sederhana:
✅ Cermati tekstur dan warna beras. Beras premium umumnya bening, pecahan sedikit.
✅ Gosok butir beras di tangan. Jika terlalu banyak kapur atau pewarna, itu patut dicurigai.
✅ Jangan mudah percaya diskon besar dengan label ‘beras super’. Harga di pasar harus logis.
Peran Publik Dalam Pengawasan
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta masyarakat tidak ragu melapor jika menemukan indikasi penipuan.
“Kalau nemu merek mencurigakan, foto, simpan struk, lalu laporkan ke dinas terkait atau Satgas Pangan,” kata Tulus.
Evaluasi Tata Niaga Beras
Kasus 212 merek beras oplosan ini membuka mata bahwa tata niaga beras di Indonesia masih rentan dimainkan spekulan.
Pengawasan harus lebih ketat dari hulu ke hilir, dan rantai distribusi yang terlalu panjang perlu dievaluasi.
Yang tak kalah penting, konsumen juga harus makin cerdas memilih produk.
Jangan terjebak iming-iming ‘beras premium’ kalau kualitasnya belum tentu.