Tasya Farasya Tuntut Nafkah Rp 100 Perak dari Ahmad Assegaf: Jalan Cerai, Luka Kepercayaan, dan Tuntutan yang Mengejutkan
Pendahuluan
Ketika rumah tangga yang dulu terlihat harmonis tiba-tiba retak, publik sering kali mencari tahu apa yang terjadi di balik layar. Dalam kasus perceraian antara selebritas Tasya Farasya dan Ahmad Assegaf, publik dibuat tercengang dengan tuntutan nafkah yang diajukannya dalam sidang perdana: bukan jumlah besar seperti yang sering kita dengar, melainkan hanya Rp 100 perak per bulan. Di balik angka yang mengejutkan itu, ada cerita kepercayaan yang patah, tuduhan penggelapan, serta tekanan emosional yang membawa kisah ini ke ruang sidang dengan sorotan media dan simpati publik.
Artikel ini akan membedah kronologi kasus, alasan di balik tuntutan yang “nyaris simbolis”, respons kedua belah pihak, dan implikasi lebih luas dalam pandangan masyarakat terhadap hak dan keadilan dalam perceraian.
1. Latar Belakang Rumah Tangga & Tuduhan Penggelapan
Sebelum tuntutan nafkah muncul, konflik yang mendasari sudah muncul:
- Kuasa hukum Tasya, M. Fattah Riphat, mengungkap bahwa salah satu akar keretakan adalah dugaan penggelapan dana perusahaan sejak 2021. Tasya memberikan kepercayaan kepada Ahmad sebagai CFO (Chief Financial Officer) perusahaan milik mereka, namun kepercayaannya kemudian diklaim dikhianati.
- Somasi telah dilayangkan untuk menuntut pertanggungjawaban atas dugaan itu. Ahmad dan tim kuasa hukumnya memilih menahan diri ketika ditanya media, meminta semua pertanyaan diarahkan ke kuasa hukum mereka.
- Proses mediasi sudah dilakukan dalam sidang cerai perdana, namun belum menghasilkan kesepakatan pokok antara keduanya karena problematika kepercayaan dan pertentangan mendasar dianggap “deadlock”.
2. Sidang Perdana & Hasil Mediasi
Sidang perdana menjadi panggung deklarasi awal dari konflik yang sudah lama mengendap:
- Dalam sidang tersebut, agenda yang dibahas meliputi pemberkasan dan mediasi pihak keduanya. Meski sudah ada kesepakatan sebagian, pokok-pokok perkara belum bisa disepakati bersama.
- Melewati proses mediasi, mereka sepakat bahwa rupanya rujuk tidak mungkin dilakukan. Artinya, perceraian akan dilanjutkan. Sidang berikutnya dijadwalkan pada 8 Oktober 2025.
- Menariknya, kuasa hukum menyebut bahwa secara agama, Tasya sudah ditalak pada 10 September, sebelum gugatan cerai dilayangkan secara formal.
3. Tuntutan Nafkah Rp 100 Perak: Simbolisme atau Strategi?
Ketika banyak publik menduga bahwa tuntutan nafkah akan sangat besar, langkah Tasya memilih jumlah yang “nyaris simbolis” memunculkan macam-macam reaksi:
- Kuasa hukum menjelaskan bahwa alasan penuntutan oleh Tasya senilai Rp 100 perak adalah karena status “tanpa nafkah” selama masa perkawinan. Artinya, sejak menikah, Ahmad belum memberikan nafkah sesuai harapan. Sehingga, angka kecil ini diajukan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan simbolis, bukan soal angka besar semata.
- “Nominal tidak menjadi inti masalah,” ujar kuasa hukum. Menurut mereka, nilai besar atau kecil bukanlah pokok persoalan—tetapi bagaimana rasa kepercayaan yang dikhianati menjadi bahan utama perceraian.
- Tuntutan simbolis semacam ini juga bisa menjadi semacam strategi psikologis: mengingatkan bahwa selama ini kepercayaan telah dilanggar, bukan soal materi belaka.
4. Dampak Psikologis & Kondisi Emosional Tasya
Perceraian dan tuntutan nafkah bukanlah perkara ringan, terutama ketika melibatkan aspek kepercayaan dan kerusakan emosional:
- Kuasa hukum menyatakan bahwa Tasya mengalami sakit hati luar biasa, kekecewaan mendalam setelah memberikan kepercayaan penuh pada Ahmad untuk mengelola keuangan dan perusahaan.
- Dalam perjumpaan dengan media, Tasya mengonfirmasi bahwa ia sedang menjalani terapi depresi, kembali mengungkapkan kesulitan tidur, beban pikiran, dan tekanan emosional atas konflik ini.
- Kondisi mentalnya menjadi aspek penting dalam kasus perceraian: publik dan sistem pengadilan seringkali memandang “pernikahan” dan “perceraian” hanya dari aspek hukum dan materi, padahal trauma emosional juga nyata adanya.
5. Respons Ahmad Assegaf & Strategi Hukum
Sementara publik fokus pada pihak Tasya, Ahmad dan kuasa hukumnya memilih diam di ruang media publik:
- Ketika ditanya awak media usai sidang perdana, Ahmad menghindar dengan berpesan agar pertanyaan diarahkan melalui kuasa hukumnya. “Hati-hati ya, tolong ke kuasa hukum. Makasih banyak,” ujarnya singkat.
- Strategi diam semacam ini bisa menghindarkan dirinya dari tekanan publik yang terlalu terbuka sementara kasus masih dalam tahap pembuktian.
- Dalam proses perceraian ke depan, fokusnya kemungkinan besar akan berada di bukti keuangan, audit perusahaan, dan kontradiksi narasi antara kepercayaan dan pengelolaan finansial.
6. Persepsi Publik & Etika Nafkah dalam Perceraian
Kasus ini juga membuka ruang dialog luas di publik dan dalam ranah hukum tentang bagaimana nafkah dipandang:
- Di banyak perceraian selebritas, tuntutan nafkah sering kali menjadi sorotan publik besar bagaimana tuntutan besar bisa diterima, atau tuntutan kecil dianggap tidak wajar. Dalam kasus Tasya, tuntutan Rp 100 perak memicu pertanyaan: apakah itu “terlalu rendah” atau justru merepresentasikan luka moral?
- Beberapa pihak berargumen bahwa apabila nafkah sejak awal sudah dipenuhi, maka tuntutan kecil bisa wajar sebagai simbol. Namun jika selama perkawinan nafkah tidak diberikan sama sekali, tuntutan besar pun bisa dibenarkan.
- Kasus ini mengingatkan bahwa dalam perceraian, aspek kepercayaan, keadilan emosional, dan penghargaan terhadap peran pasangan seringkali lebih penting dari angka materi.

Kesimpulan
Tuntutan nafkah Rp 100 perak yang diajukan oleh Tasya Farasya dari Ahmad Assegaf bukanlah hal sepele, melainkan simbol luka kepercayaan yang lebih dalam daripada sekadar materi. Di tengah persidangan yang menegangkan, ia memilih menunjukkan bahwa masalah inti mereka bukan uang semata, melainkan pengkhianatan dalam pengelolaan finansial dan kepercayaan.
Ke depan, kasus ini akan menguji bagaimana sistem hukum dan publik memaknai keadilan dalam perceraian selebritas: apakah nilai nominal akan menjadi tolok ukur, atau apakah rasa kekecewaan, tanggung jawab moral, dan pemenuhan hak emosional bisa menjadi titik fokus yang lebih adil.
Kalau kamu punya pendapat atau pengalaman tentang nafkah atau perceraian bagikan di kolom komentar ya! Biar diskusi ini makin kaya, dan kita bisa saling belajar arti keadilan dalam perceraian.